Kata siapa Aw Karin merusak moral anak bangsa??
Iya
saya tanya beneran, dari segi mana Aw Karin merusaknya??
Tunggu
dulu, sebelum kita sama-sama menjawab pertanyaan diatas, perlu saya sampaikan
disini bahwa saya seratus persen bukan Kariners, Sahabat Karin, Karin Holic
atau apalah nama penggemarnya tersebut. Saya nggak dibayar sepeserpun untuk
bikin tulisan ini. Saya juga bukan antek Yahudi yang diutus CIA untuk
kolaborasi dengan remaja-remaja mental jeblok bangsa Indonesia dalam rangka
mendegradasi moral para kawula muda. Saya cuma mengajak kamu, kalian semua
untuk berani melihat suatu masalah dari sisi yang lain, beda dan mungkin
terabaikan sebelumnya. Karena seperti yang dikatakan oleh filusuf kontemporer
Nigeria, Nwankwo Kanu “Orang yang paling bodo ialah orang yang hanya punya satu
sudut pandang”. Hal tersebut juga diamini oleh pakar ilmu sosial asal negeri
kincir angin, Prof. Dr. Weisley Sjeneider yang berteori bahwa ketololan
paripurna seringkali diakibatkan oleh pengkultusan satu sudut pandang yang
menjadi dogma dalam menjalani kehidupan. Jadi sekali lagi saya menegaskan bahwa
saya sungguh-sungguh netral dalam masalah fenomena media sosial yang pelir, eh
pelik ini.
Seperti
saya singgung diatas, saya tidak pernah berniat menjadikan kasus Aw Karin yang
menjadi sorotan publik dunia maya ini menjadi sebuah tulisan. Entah saya yang
kuper atau sering kehabisan paket internet, saya termasuk yang rada telat
menyadari sepak terjang remaja yang dadanya nggak begitu besar itu. Dikabarkan
Aw Karin sering mengunggah video asyik masyuk penuh mahligai cinta bersama si
pacar (yang sekarang sudah jadi mantan), sehingga dikhawatirkan adik-adik
follower dan subscriber dari Karin menjadi terinspirasi untuk ikutan berdada
kecil namun seringkali tampak pongah.
Remaja
putri ini juga diberitakan sering mengumpat kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan
di dalam rumah ibadah, walaupun sebenarnya Karin melakukannya di tempat yang
biasa aja sih sebenernya buat teriak-teriak “ANJING!!” sampe kerongkongannya
keset. Intinya semua perilaku itu hanya sebatas berita dan video unggahan di
dunia maya, secara nggak ada satupun pihak yang merasa terganggu dengan
postingan Karin yang pernah mengenalnya di dunia nyata.
Sayapun
akhirnya pertama kali melihat video Aw Karin beberapa hari yang lalu ketika
seorang teman memperlihatkan sebuah video klip dengan konsep dan editing yang
“elek blas” di situs Youtube. Dalam video itu terlihat seorang pria diju’ung
masa remaja berkeluh kesah soal kemunafikan lingkungan sosial lewat musik rap.
Di bagian refrain lagu, munculah sosok remaja putri yang tampak sangat Agnes
Monica wannabe -lengkap dengan seragam zumba dan baju jaring- melantunkan bait demi bait
keresahan jiwanya kala dijustifikasi sebagai orang tak bermoral oleh sebagian
orang yang sangat mungkin tidak bermoral juga. Gadis (seandainya masih..) itu
bernama Karina Novilda a.k.a Aw Karin yang femes itu.
Saya
suka musik rap dan hiphop, tapi sayangnya saya nggak suka Young Lex dan juga Aw
Karin. Alhasil baru satu menit video diputar saya kontan embung menonton sampai
habis. Setelah itu saya benar-benar lupa akan eksistensi Karin yang konon
(jangan dibalik) merusak moral anak bangsa itu. Sampai hari Sabtu siang pacar
saya bertandang ke rumah. Seperti biasa kami membahas dan berbicara hal-hal
intelek seperi suku bunga IHSG, Tax Amnesty dan perseteruan antara Kiswinar dan
striker Juventus Mario Mandzukic. Disela-sela perbincangan tiba-tiba pacar saya
menceritakan sebuah kabar dukacita. Salah seorang temannya dikabarkan telah
meninggal dunia. Yang membuat bergidik adalah penyebab perempuan malang itu berpulang.
Ia meninggal sehari setelah melakukan aborsi yang keempat. Empat kali melakukan
aborsi, dan yang terakhir ini berakibat sangat fatal. Saya termenung. Sekilas
terlintas wajah Aw Karin saat meliuk-meliuk mengikuti irama musik rap yang
kurang enak. “Kalian suci..aku penuh dosa..” kira-kira begitu salah satu
penggalan liriknya.
Saya
langsung tersadar dan menyesali betapa rusaknya pergaulan masyarakat terutama
remaja sekarang. 4 kali aborsi. 4 calon bayi harus gagal melihat bumi Indonesia
yang begitu indah ini. Perkara aborsi bukan barang baru bagi saya. Tiga teman
saya melakukan hal itu. Satu diantaranya melakukannya hingga tiga kali.
Mengingat hal itu saya lantas bergidik ngeri. Namun tiba-tiba saya mendengar ada
yang melakukan aborsi ilegal sebanyak 4 kali dan kemudian harus meregang nyawa.
Ini benar-benar sudah melewati batas. Seketika kasus Aw Karin yang cuma ngomong
jorok dan skip kuliah kedokteran menjadi seperti upil kering diatas tower
Indosat yang sinyalnya nggak bagus-bagus amat.
Saya
kemudian berpikir. Apa benar Aw Karin merusak moral anak muda?? Atau Karin
hanya hadir sekedar menjadi bagian pelengkap, pemanis dari sebuah puzzle yang
sangat besar namun kita semua lalai melihatnya. Kita semua mafhum jika urusan
lalai memang spesialisasi bangsa besar ini. Banyak peristiwa lalai yang
berujung bencana terjadi disini. Sekian juta orang dibantai dalam kurun waktu
beberapa bulan saja di tahun 1965 seraya mengiringi seorang jendral korup nan
murah senyum naik tahta. Masyarakat
lantas lalai berjamaah karena hanya berfokus pada para Jendral yang diceburin ke sumur di Lubang Buaya. 40
tahun kemudian, alarm peringatan Tsunami di pinggir pantai Banda Aceh rusak
sejak bertahun-tahun yang lalu dan dinas terkait berkelit seribu bahasa. Mereka
lalai memperbaiki alat tersebut. Alhasil 120 ribu jiwa tersapu gelombang laut,
sehari setelah Natal dan hanya menyisakan kota yang porak poranda. Terbukti sudah.
Lalai memang salah satu bakat alamiah bangsa ini, selain munafik tentunya.
Lantas
dimana hubungannya Aw Karin dengan sikap lalai masyarakat Indonesia?? Ya itu
tadi. Selain lalai dan munafik, bangsa Indonesia dianugerahi sifat “overwhelm”
yang sangat akut. Jangankan tayangan perempuan oriental mengemut batang
kemaluan pria yang ditayangkan ilegal di video tron Jakarta Selatan kemarin,
bapak-bapak terjatuh dari motor saja bisa jadi pertunjukan menarik yang
mengundang masa, menghadirkan kemacetan dan menjadi distraksi. Inilah kata
kunci penghubungnya. Distraksi.
Histeria unggahan Karin di media sosial viral
dan tak terbendung hingga KPAI pun turun tangan ikut gatal memberesi moral
bocah ingusan yang ukuran dadanya nggak sebesar egonya itu. Sambil disaat yang
bersamaan belasan serial dan FTV norak bernuansa pembodohan bebas berkeliaran
di layar kaca tanah air, ditonton oleh remaja-remaja pinggiran kota yang lugu
mengarah ke dungu. Memang di Indonesia bodoh selevel lebih dimaklumi daripada
berpakaian serampangan misalnya. Di negeri ini tentunya penguasa akan merasa
lebih terancam dengan satu orang cerdas dengan baju terbuka dan tattoo-an (saya
nggak bermaksud bilang bahwa Karin cerdas)
ketimbang puluhan orang sopan
santun, penurut, walaupun IQ-nya agak anu. Disinilah distraksi bekerja,
menyamarkan, bahkan membentuk propaganda. Jika yang “rebel” dan yang santun
sama-sama bisa dibodohi?? Mengapa tidak?? Ini seperti pepatah “Sekali dayung,
dua tiga pulau direklamasi”. Buat Karin dan generasinya, buku adalah artefak.
Youtube, instagram adalah #LifeGoals. Selamat!! Dunia kita (maya dan nyata)
goncang, terusik oleh kehadiran bintang orbitan oleh pihak yang berkepentingan.
Padahal
jika kita berani menelanjangi diri seraya melepas atribut religi yang kadang menjadi
batas bias antara haram dan suci, mungkin kita bisa lebih jelas lagi melihat
inti dari persoalan ini. Karin dan segala kelakuan dalam unggahannya bukanlah
barang baru. Bukan aib baru. Bukan dosa baru. Karin bukan manusia pertama di
Indonesia yang mengumpat “anjing”, “bangsyat”, “peler”, atau “ngentot” atau
apalah itu namanya. Sebagian dari kita pernah mengucapkannya walaupun penuh
malu dan diiringi rasa bersalah setelahnya. Sebagian lagi mungkin hanya
mendengarnya sebagai ocehan tabu yang menjadi gaul ketika frasa laknat itu
diplesetkan menjadi “njir”, “njrit”, “ler”, “konty”, “meki”, “ngentiaw”, “ewi”,
“jembrewi” dan sebagainya.
Pun
dengan perilaku Karin yang mengarah kepada kegiatan pacaran indehoy menjurus ke adegan vulgar. Entah sejak tahun
berapa praktik sex bebas, prostitusi remaja, aborsi dan kegiatan yang berkaitan
dengan esek-esek gandrung di kalangan muda-mudi kota besar Indonesia. Karin
bukanlah iblis yang diutus untuk mengupdate dosa lama menjadi dosa baru yang
lebih mutakhir dalam ritual membangkang perintah Tuhan. Siapa sih yang nggak
pernah berfantasi tentang mencium gadis atau jejaka idaman di belakang kelas
sambil kemudian menggerayangi pangkal pahanya. Perkara mewujudkan fantasi itu
menjadi nyata adalah hal lain. Itu soal keberanian dan mengambil keputusan. Dan
walapun keputusan itu adalah hal yang salah dan buruk dipandang masyarakat, tetap
saja bukan yang pertama dan terakhir. Jika nabi Adam dahulu benar mengambil
keputusan untuk tidak memakan buah kuldi, tentunya Christiano Ronaldo tidak
akan pernah mengangkat Euro Cup dan bahkan tidak pernah tercipta.
Satu-satunya
kesalahan Aw Karin mungkin hanya karena remaja malang itu hidup dan besar di
era teknologi informasi dikala kita semua masih gagap menyikapinya. Ribuan
informasi nggak penting berseliweran di lini masa menguji saringan intelejensi
otak kita. Teknologi memangkas banyak hal yang tak mampu kita maknai dengan
arif dan bijak. Celah menganga itu yang kemudian diendus oleh hidung-hidung
kapitalis kakap maupun enterpreneur bau kencur tapi oportunis yang baru masuk
gelanggang. Sebagai contoh : Ketika remaja adalah usia dimana mereka mencari
jati diri, pihak yang berkepentingan lantas menghadirkan dua sosok yang
mewakili dua kutub yang berbeda, namun tetap satu tujuan. Monetisasi, a.k.a
Ujung Ujungnya Duit yang akrab dikenal sebagai UUD.
Di
sudut merah, berdiri beringas, marah dan tak terkendali. Aw Karin. Dengan
terjangan bak banteng terluka Karin masuk arena mengacak-acak norma. Raungannya
keras, memekakkan telinga orang tua yang memiliki remaja putri seusianya. Karin resah dan meninju balik stigma negatif
dengan karyanya yang biasa aja. Kegarangannya berakhir pada endorsement
produk-produk jam gaul hippies, casing smartphone anti mainstream, dan apparel
bernuansa rebel. Jutaan followernya berbondong-bondong mengikuti gaya mix n
match pop culture dan pemberontakan dari Karin yang sangat kekinian. Untuk
skala yang lebih massive, Karin diproyeksikan menjadi kandidat pengganti Lady
Gaga, kena narkoba, dan positif HIV AIDS untuk kemudian menularkannya kepada
seperempat penduduk bumi. Nasa dan CIA lantas menemukan serum dan menjual obat
penawarnya di gerai Indomaret.
Di
sudut biru, meriah namun sopan dan murah senyum. Ria Ricis. Tampil Syar’i dengan
gamis-gamis trendy masa kini, Ricis meruntuhkan pertahanan jomblo-jomblo yang
merindukan kekasih solehah. Dengan selera humornya yang ngepas, Ricis tetap
semangat membagikan postingan yang dia pikir lucu dan menghibur. Tujuannya
jelas, menciptakan Indonesia yang santun, relijius namun tetap kekinian.
Warna-warni postingan Ricis bermuara pada iklan busana wanita, aneka riasan
wajah dengan label halal dan endorsement seblak instan rasa nasi kebuli. Jutaan
fans fanatiknya kemudian meniru kesantunan dan kemeriahan Ricis untuk mendapat
status “istri solehah idaman laki ganteng
mirip Erdogan”. Untuk jangka panjangnya Ricis akan diduetkan dengan Tae
Min dari grup K-Pop Shine menyanyikan lagu reliji “Ta’aruf di Pyongyang”.
Karuan, single tersebut meng-grab dua basis fans sekaligus. Fans Ricis yang
solid dan tentunya K-Popers yang militan. Jutaan abg seluruh dunia menyerbu
gerai Alfamaret berburu CD terbaru Ricis feat Taemin.
Dan
masih saja kita lalai melihat fakta-fakta tersebut. Kita lebih asik
mengutak-utik motif personal dari Karin yang dikisahkan dahulu mempunyai
segudang prestasi. Ya, katakanlah Karin adalah korban dari sebuah sistem kejam
yang melatarbelakangi perilaku amoralnya. Karin adalah azab yang menampar keras
pipi orang tua seluruh Indonesia. Karin muncul sebagai penanda bahwa sekarang
kita telah memasuki era dimana dosa bukan waktunya lagi disimpan rapat dalam
lemari sambil sesekali ditengok ketika rindu. Dosa adalah aku, dosa adalah
kita.
Lalu
sekarang coba jawab, bagian moral mana yang dirusak oleh Karin?? Karena kita
semua berdiri diatas kerusakan yang sama. Yang diwariskan oleh nenek moyang
terdahulu. Tanah dimana kita mengais nafkah adalah tanah yang malu-malu
memaklumi pelacuran selama menyokong perekonomian keluarga, kota dan bahkan
negara. Tanah tempat kita tinggal adalah tanah dimana seorang nenek pencuri
ranting dihukum sama beratnya dengan koruptor miliaran rupiah. Seribu Karin pun
tidak akan sanggup menutupi kenyataan buruk dan kerusakan moral yang ada di
depan mata. Tapi sudah lah tak usah dijawab, kalian memang suci, aku penuh
dosa.
Ps :
Tulisan ini dibuat sebagai distraksi dari isyu gencar seputar Pilgub DKI 2017.
Dikabarkan salah satu Cagub makan nasi Padang lauk cincang pake tangan kiri.
Katanya sih kurang reliji, nggak sopan, tangan kiri kan tangan cebok.
Kemunafikan akut buat bangsa yg katanya penuh budaya sopan santun dan agamis.
BalasHapusSetuju kali ini gw...
Semoga kita ngga termasuk dari kaum munafikun yes??
Hapusbtw thanks udah baca dan komen.