Jumat, 25 November 2016

25 November. Antara Basuki, Rush Money, Lilpaly



Setahun terakhir ini saya menekuni pekerjaan yang boleh dibilang mengasyikan lagi memberikan saya banyak pelajaran berharga. Tiada yang lebih menyenangkan daripada bermain, mengupdate dan menulis status di media sosial untuk kemudian mendapatkan uang dari situ. Yup, saya berprofesi sebagai content writer merangkap social media staff. Mungkin masih terdengar awam buat calon mertua ketika nanti saya ditanya bekerja di bidang apa, tapi percayalah banyak profesi aneh yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya sedang menanti diujung sana untuk kamu yang bosan menjadi teller Bank atau staff accounting perusahaan.


Bekerja sebagai social media staff membuat saya kudu menyimak trend-trend sosial media terbaru untuk dipelajari dan jika memungkinkan diaplikasikan kedalam kampanye digital dari perusahaan tempat dimana saya bekerja. Maka dari itu setiap pagi saya rajin memantau Facebook dan juga Youtube. Karena setelah perlahan Twitter ditinggal oleh peminatnya, praktis dua platform itu sekarang yang paling ramai dijadikan lahan promosi, selain Instagram yang ramai-ramai “diperkosa” oleh akun-akun peninggi badan dan pembesar penis instan.


Memantau Facebook selama 8 jam sehari, lima hari seminggu membuat saya betul-betul hafal akan jenis postingan yang sedang naik daun di lini masa media sosial racikan seorang kafir Yahudi bernama Mark Zuckerberg ini. Sekitar dua bulan lalu berbagai macam variasi cerita kurang lucu dari tokoh rekaan bernama Mukidi benar-benar mendapat panggungnya. Mulai dari Mukidi yang melihat onta lah, bertemu orang Cina lah, Mukidi coli lah, hingga surat edaran resmi yang ditandatangani oleh Mukidi. Namun cerita Mukidi sedikit meredup sesaat setelah tokoh bernama Basuki (yang ini beneran bukan rekaan) gantian mencuri pentas. Konon (boleh dibalik) tokoh keturunan Tionghoa ini merebut hampir seluruh frekwensi perhatian massa pengguna Facebook.


Alkisah dimulai dari dipostingnya sebuah video singkat Basuki yang sedang memberi entah ceramah, himbauan, kampanye, atau kelas pengganti Ilmu Pengantar Politik di Kepulauan Seribu, Jakarta Utara.  Dalam video itu terlihat Basuki dengan rada dongkol mengucapkan kata-kata maut yang membawa masalah demikian besar bagi jabatannya dan bagi hubungan silaturahmi masyarakat Jakarta bahkan Indonesia. Terlepas dari perkara apakah kata-kata tersebut termasuk penistaan agama ataupun bukan, yang jelas penonton acara tersebut nampak anteng dan terkendali. Dan hampir tidak ada satu orangpun yang menyadari isi video tersebut secara lengkap.


Tetapi semua berubah saat negara api mulai menyerang. Seorang tokoh bernama Buni (nggak pakai Bugs) ikut mengunggah video tersebut beserta caption yang menurut pihak berwajib termasuk dari tindakan provokasi. Karena percayalah tidak ada satupun hater dari Basuki berminat menonton video si Basuki open mic di Kepulauan Seribu yang diposting oleh akun Pemda DKI Jakarta. Namun dengan caption yang menggugah, video dengan durasi yang nggak lebih panjang dari satu adegan tembak-tembakan di film Rambo 4 itu menjadi sangat click-able.


Alhasil bola salju yang menggelinding semakin besar atas peran serta netizen yang beriman, berpendidikan tinggi, berpenghasilan diatas UMR, punya akses internet, tetapi tidak diimbangi kecerdasan emosional yang mumpuni. Singkatnya kita sebut saja mereka kelas menengah ngehek. Suatu kelas yang tercipta dari tindakan represi sebuah rezim pemerintahan terhadap kebebasan berpendapat dan berpolitik masyarakat. Kelas menengah ngehek ini bak jamur yang tumbuh dimusim hujan. Mereka berkembang biak pesat seiring murah serta mudahnya akses internet menjangkau. Kehidupan yang nyaris mapan (berkat murahnya cicilan rumah dan mobil yang ditawarkan perusahaan leasing si raja riba nan haram pun dilarang agama), membuat sebagian besar kelas menengah ngehek ini merasa sebagai “pemenang” di ibukota karena punya banyak waktu untuk sekedar scrolling-scrolling kursor akun Facebook disela-sela jam kerja, sambil menunggu kereta atau Transjakarta, di dalam Taksi online, ataupun sambil menunggu si kecil pulang les balet.


Bola salju yang besar itu akhirnya bermuara kepada sebuah demonstrasi (sebagian menyebutnya Jihad Konstitusional, meskipun di Islam sendiri tidak ada satupun ajaran tentang demo, apalagi mengakui serta menjalanakan sebuah sistem Thagut demokrasi yang jauh dari khilafah) besar-besaran pada tanggal 4 November 2016 yang menyuarakan tuntutan sebagian kaum Muslimin yang ingin Basuki diproses secara hukum terkait dengan ucapannya di Pulau Seribu tempo hari. Diluar dari aksi rusuh beberapa oknum yang tertangkap kamera sedang mengacungkan bambu kepada aparat, harus diakui demonstrasi 411 ini berjalan baik dan terorganisir. Salut dengan beberapa ormas yang mampu meredam suasana panas yang bisa saja meletus menjadi kerusuhan masal.


Beberapa hari kemudian Basuki lantas dinaikan statusnya menjadi tersangka oleh pihak kepolisian. Tentunya ini membuat remuk hati para lelaki pemburu gadis diluar sana yang telah jatuh bangun Bekasi-Bintaro namun statusnya tidak jua naik menjadi pacar. Haruskah mereka juga melakukan demonstrasi di depan istana untuk sekedar diakui keberadaannya dan di tag namanya dalam sebuah postingan berisi lirik lagu Raisa “Could it be”.


Singkat cerita Basuki pun mendapat hukuman sosial yang sangat berat. Statusnya sebagai Gubernur non aktif dan Cagub dari partai dengan logo mirip Chicago Bulls ini menjadi serba salah. Hasrat menggebu-gebu dari pendukungnya harus bertentangan dengan para korban gusuran dan hater yang semakin sakit hati setelah peristiwa video penistaan tersebut. Tak cukup hanya disitu, musuh Basuki semakin mendesak dan menebar opini di sosial media tentang harusnya disegerakan penangkapan bagi si tersangka penista agama. Isyu tentang aksi demo susulan langsung menyebar luas untuk mempercepat langkah pihak berwajib memenjarakan Basuki.


Tapi tampaknya demonstrasi bukanlah langkah yang disetujui semua pihak yang merasa tersinggung atas penistaan agama yang dilakukan Basuki. Beberapa ormas keagamaan yang cukup besar di Indonesia telah menyatakan sikap untuk tidak lagi turun ke jalan menyuarakan pendapat dan menerima serta menghormati proses hukum yang sedang berlangsung. Mungkin itu pula yang menyebabkan lawan Basuki mulai mencari narasi lain untuk tetap menghangatkan lini masa sosial media. Ibarat satu pleton pasukan yang habis memenangkan sebuah pertempuran besar, semangat dan moral prajurit harus dijaga (bahkan dipompa terus) agar tidak kendor untuk terjun ke medan perang yang lebih menentukan. Macam-macam isyu lantas ditebar disegala penjuru dunia maya. Salah satu yang menurut saya paling spektakuler sekaligus musykil  adalah “Gerakan tarik uang massal untuk menciptakan Rush Money”.  Trik yang satu ini memang elegan betul. Jauh dari kesan proletar yang biasa melakukan long march penuh keringat bercampur sisa-sisa mijon disudut bibir para penuntut keadilan. Gerakan ini diklaim milik kelas menengah yang digenerelisasi sebagai kelas dengan kouta terbanyak di kota-kota besar Indonesia.


Untuk yang masih awam, singkatnya rush money adalah penarikan dana besar-besaran dari bank secara bersamaan dan mendadak. Tujuannya tentu saja menciptakan ketidakstabilan ekonomi yang sangat mungkin menyulut kerusuhan dan sukur-sukur menjatuhkan Presiden yang pake jaket bomber. Mungkin penggagas gerakan rush money ini adalah seorang tokoh yang mencoba nostalgia dengan peristiwa kerusuhan Mei 98 beberapa waktu silam. Masih terlintas dalam benak ketika bapak saya menarik semua uang keluarga kecil kami yang tidak seberapa dari sebuah bank swasta yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa lalu memindahkannya ke bank pemerintah yang katanya relatif lebih aman. Peristiwa tersebut terjadi menyusul tragedi kemanusian terbesar kedua setelah pembantaian komunis tahun 65-69. Ribuan warga keturunan Tionghoa harus menjadi tumbal mengiringi hancurnya sebuah orde kepemimpinan seorang Presiden legendaris Republik ini.


Sekilas ide rush money memang terdengar renyah. Dan benar adanya, isyu tersebut langsung dikunyah tanpa ampun oleh –lagi lagi- kelas menengah ngehek sebagai kaum yang mendominasi frekwensi lini masa dunia maya. Ancaman penarikan sejumlah uang secara beramai-ramai ini bahkan telah dibuat skema hitung-hitungannya. Jika kira-kira sebanyak 5 juta orang menarik 2 juta rupiah dari bank, maka bank akan kelimpungan mencari dana talangan untuk membayarkan uang nasabahnya. Saat itulah rush money terjadi, dan suasana menjadi kisruh. Kemudian berturut-turut kepercayaan terhadap perbankan menurun drastis, suku bunga anjlok, rupiah melemah, inflasi gila-gilaan, harga barang melonjak, AA Gatot keluar penjara, Dimas Kanjeng buka kursus gandain duit, Young Lex mendadak miskin, dan Coldplay beneran konser di alun-alun Nganjuk dengan artis pembuka Angel Lelga.


Gimana?? Eneg kan bayangin Coldplay harus nunggu di backstage sambil ngunyah panadol 4 biji langsung karena pusing ngeliat konser maha dahsyatnya dibuka oleh artis tanggung tapi punya tas mahal bingits yang mantan istrinya Chris Martin aja nggak punya. Makanya penjarain deh si Basuki kalo nggak mau ilustrasi peristiwa diatas bener-bener kejadian. Kira-kira begitulah ancaman dari segelintir orang yang merasa jika rush money adalah jalan keluar terbaik dari segala macam masalah.


Jujur saja, saya bukan orang yang gemar mengamati masalah ekonomi morat-marit bangsa ini. Saya yakin para pendahulu kita, para leluhur, jungkir balik pating pecotot membangun fondasi ekonomi negeri yang baru saja merdeka seumur jagung. Salah seorang founding father kita, Bung Hatta adalah seorang yang sangat ekonomis. Ya, saya ulang sekali lagi, dia adalah seorang yang sangat mencintai bidang ekonomi sekaligus penganut aliran ekonomis. Bagaimana tidak, untuk membeli sepasang sepatu Bally saja ia harus rela menabung dan pada akhirnya hanya menjadi angan karena keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga akhir hayatnya. Jangan coba-coba bandingkan pengorbanan Si Bung dengan pejabat ataupun pelaksana roda pemerintahan yang kita kenal sekarang. Apalagi sampai harus merobohkan sistem ekonomi yang sudah beliau rintis dengan darah juga air mata dan dibangun sedemikian rupa hingga detik ini hanya karena isyu rush money. Jadi buat saya isyu yang satu ini benar-benar menggelitik untuk cepat ditanggapi.


Saya pun kemudian mencoba mensimulasikan apa yang terjadi jika ajakan rush money tanggal 25 November benar-benar dilaksanakan. Tapi di sisi lain saya juga berkeyakinan bahwa satu-satunya yang bisa menggoncang perekonomian adalah pemilik perekonomian sendiri. Dalam arti si bankir itu sendiri, dan segelintir orang-orang tak bernama yang wajahnya tidak pernah muncul dalam daftar orang terkaya di majalah Forbes. Silahkan kamu googling jika tidak percaya, negara yang selama ini kita anggap sebagai Superpower saja seperti Amerika, Jepang, dan Perancis misalnya memiliki hutang yang sangat banyak pada bank dunia. Negara-negara tersebut bukanlah negara bodoh yang mayoritas penduduknya meributkan masalah moral serta menyebar broadcast message tentang obat yang membuat wanita mandul sehingga bebas digagahi. Mereka adalah sekumpulan orang-orang produktif yang ilmuwannya telah menemukan obat kanker, teori fisika kuantum dan mengetahui keberadaan Eddy Tansil yang buron sejak zaman orba.


Lalu jika rush money memang bisa dikaryakan untuk menumbangkan rezim yang korup ataupun tidak memihak rakyat, tentunya revolusi Perancis sudah terjadi tiga kali sejak zaman Louis XIV yang beken dengan semboyan “Negara adalah saya”. Atau sekalian saja kemarin orang Amerika berbondong-bondong ngambil duit via atm lima ribu dollar seorang supaya keadaan jadi kacau dan Donald Trump batal jadi Presiden. Tapi faktanya, memang lebih gampang menggalang otot di jalan sambil bawa spanduk teriak-teriak pake toa, dan sukur-sukur dapet nasi kotak ayam goreng tepung. Itu pula yang dilakukan oleh penduduk di beberapa negara bagian Amerika yang memihak pada Hillary Clinton. Tapi apa hasilnya?? Ya jadi bahan berita doang. Masuk tipi, siaran berita malem yang ditayangin habis serial The Walking Dead season 7.


Yang terjadi tetap saja segilintir penguasa dan oknum-oknum bankir dalang dibalik penyedia dana segar bagi negara sama sekali tidak tersentuh. “People Power” cuma semboyan basi yang terakhir kali diusung Musso saat memimpin pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Di zaman teknologi informasi ini        -dimana kelas menengah ngehek bisa saja kritis ngomongin teori ekonomi kerakyatan menggebu dan mengkritik pemerintah yang tidak pro rakyat miskin sambil ngopi cantik di Starbucks-, yang punya power itu bukan people, tapi money, Bos. Sekali lagi, money. Apanya yang mau di-rush kalo money kita aja setiap masuk tanggal 25 sebanyak 4 juta, langsung ditarik lagi 3 juta 900 ribu. Itu juga terpaksa disisain 100 ribu karena kebijakan bank harus menyisakan uang untuk administrasi.


Dan pada akhirnya memang itulah yang terjadi. Rush money cuma sekedar omong kosong alias lip service para elite-elite yang memang berniat menjaga semangat tetap berkobar di dada para prajurit pengawal kasus hukum Basuki. Ibarat satu kompi pasukan Amerika yang sukses merebut sebuah pangkalan udara kecil di pinggiran Guadalcanal pada perang Pasifik. Kemudian jendral-jendral di atas kapal perang sambil minum cocktail memerintahkan bagian humas untuk cetak selebaran perihal “Tempur abis-abisan” karena sebentar lagi perang bakalan kelar. Padahal faktanya perang masih jauh dari rampung dan si tentara yang kadung semangat antara napsu campur termotivasi menjadi garang dan trengginas menggilas semua musuh yang tampak. Kalaupun pun pada akhirnya para prajurit gagal dan tetap kalah, ya nggak masalah. At least para jendral jadi tahu batas  loyalitas serta kegilaan dari pasukan martirnya. Bahasa ilmiahnya studi kasus.


Hari ini tanggal 25 November saya menulis tulisan singkat ini sambil menunggu akankah rush money benar-benar terjadi dan menggoncangkan perekonomian sebagaimana digambarkan oleh mentri Sri Mulyani di berita-berita. Sambil menunggu dan menunggu (karena saya sendiri belum gajian jadi tidak bisa ikut partisipasi menarik uang) saya jadi teringat kalau hari ini adalah hari penentuan dari langkah Timnas Garuda di pegelaran piala AFF 2016 yang sangat bergengsi di Asia Tenggara itu.


Setelah hiatus dari segala macam pertandingan internasional karena terkena sanksi FIFA, penampilan Timnas senior Indonesia ini pastinya ditunggu oleh jutaan pasang mata para supporter setianya. Namun nasib kurang baik tampaknya merundung Evan Dimas Cs diawal-awal perhelatan. Setelah dihajar Thailand 4-2 pada partai pembuka, garuda kebanggaan kita harus menunda hasrat sejenak setelah kemenangan yang sudah begitu tersaji di depan mata harus pupus karena seorang “suami muda” yang nggak tahan untuk membobol gawang si Meiga. Apa boleh bikin, Indonesia harus rela ngejogrog di urutan paling bawah klasemen dengan hanya mengoleksi 1 poin saja.  Langkah Timnas semakin sulit lagi karena partai terakhir mempertemukan Indonesia dengan Singapura yang juga punya misi wajib menang demi tiket semifinal.


Melawan Singapura bukanlah hal yang mudah, walaupun bukan sesuatu yang mustahil juga. Persis seperti Filipina, Singapura juga diperkuat oleh legiun asing yang telah dinaturalisasi. Satu dekade terakhir naturalisasi memang dirasa cukup mengangkat pamor tim-tim sepakbola Asia Tenggara. Indonesia pun tidak mau kalah dan lantas menasionalisasi Christian Gonzales dan Irfan Bachdim yang langsung mencuri perhatian penonton AFF tahun 2010 silam. Untuk Piala AFF kali ini amunisi naturalisasi tim garuda diisi oleh Stefano Lilipaly. Pemain yang pernah bermain untuk timnas Belanda U-15 ini akhirnya memilih untuk membela Indonesia sebagai tim nasional level senior.


Penantian Fano (panggilan akrab Lilpaly) yang batal bermain untuk Timnas U-23 di Sea Games 2011 karena masalah cedera akhirnya membuahkan hasil. Sebuah sepakannya menembus pertahanan penjaga gawang Singapura yang tampil apik sepanjang permainan. Sepakan kencang tersebut bukan hanya membuat Singapura harus pulang kandang lebih cepat, tapi juga menyepak segala isyu miring tentang rush money, dan tentang persoalan keharmonisan kita dalam berbangsa. Menit ke 85 pertandingan melawan Singapura tadi Lilipaly membuktikan bahwa melalui sepakbola kita semua bisa menjadi saudara (lagi). Senasib sepenanggungan, berdiri di bawah langit, memijak tanah, dan hormat kepada bendera yang sama. Indonesia. Saya mungkin adalah orang yang tidak mendukung aksi 411 kemarin, dan kamu yang membaca tulisan ini, bisa saja adalah pendukung Habib Rizik dan kawan-kawan ormasnya. Tapi saya yakin 25 November ini kita bersama berteriak, bersorak-sorai menyambut gol Stefano Lilipaly   –seorang warga negara keturunan- yang mengantarkan kaki bangsa ini untuk melangkah lebih jauh di pentas sepakbola Asia Tenggara.


Alih-alih ada rush money, tanggal 25 November malah dikenang sebagai salah satu pertandingan Timnas Garuda yang mengundang adrenaline rush bagi penikmat sepakbola tanah air. Tak ada orang berbondong-bondong menarik uang dari bank. Tidak ada kerusuhan yang tercipta akibat stabilitas ekonomi yang terganggu. Tidak satu pejabat pun yang dikudeta malam ini. Dan Coldplay  tetap tampil di Singapura, negara kecil kaya raya yang malam ini kita buat bertekuk lutut tidak berdaya.


Akhir kata, terimakasih Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly, kalian telah mengingatkan kami untuk tidak terlalu banyak scrolling Facebook sehingga lupa  bersenang-senang di dunia nyata.


Salam Olahraga!!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar