Sabtu, 20 Agustus 2016

Gloria, Arcandra dan Retorika Bernama Nasionalisme



Siapa sih Gloria Natapradja Hamel?? Siapa pula Arcandra Tahar?? Nama yang pertama menjadi buah bibir netizen (sekelompok orang yang nggak punya hobi lain selain menatap gadget dan berkomentar di dunia maya) tatkala dara berumur 16 tahun itu urung mentas pada pagelaran akbar pengibaran bendera sangsaka merah putih di hari kemerdekaan Indonesia yang ke 71 kemarin. Persiapan bak latihan militer kw selama satu bulan pun harus pupus di depan mata hanya karena Gloria tersandung UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Yes, Gloria harus gigit jari (lima-limanya kalo perlu) karena Kementrian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Gloria memiliki paspor Perancis dan langsung dinyatakan kehilangan statusnya sebagai WNI.


Sedangkan nama yang kedua lebih bombastis lagi. Bapak yang ditunjuk oleh Prsiden Jokowi pada 27 Juli 2016 sebagai Menteri ESDM Kabinet Kerja ini harus menerima nasib buruk bahwa karirnya sebagai menteri ternyata nggak lebih panjang dari durasi pacaran anak SMP. Arcandra Tahar menjabat posisi strategis itu hanya selama 20 hari. Yes, tiga minggu kurang 24 jam. Sama degan Gloria, Pak Arcandra ini pun dinyatakan mengantongi paspor Amerika yang serta merta membuat hak-haknya sebagai WNI (termasuk menjabat sebagai menteri) harus tercabut paksa. Tak ayal jebolan Teknik Mesin ITB ini langsung memecahkan rekor sebagai menteri dengan masa jabatan terpendek. Bukan sebuah rekor yang prestis memang. Namun cukuplah buat bapak ini nambah follower di Instagram sebagai mana yang dialami Gloria Natapradja Hamel.


Baik Arcandra maupun Gloria mungkin tadinya adalah orang-orang yang lolos dari sorotan gemerlap media sosial. Keduanya lebih aktif bekerja dalam diam. Arcandra Tahar selepas menamatkan studi di ITB langsung melanjutkan pendidikannya ke negeri yang paling dibenci oleh PKS selain Israel, Amerika. Disana Bapak dua orang putri sukses menjadi konsultan beberapa perusahaan pengeboran minyak Internasional. Tidak banyak yang mengetahui jika sosok Arcandra lah yang memiliki peran dalam nego-nego Presiden Jokowi menarik kembali blok Masela agar dikuasi oleh Indonesia. Mungkin itulah yang membuat pria penggiat Islamic Family Academy di Houston ini dilantik menjadi Menteri ESDM menggantikan si musuh papa, Sudirman Said.


Kemudian Gloria kita pasti semua sudah tahu. Anak gadis (ya anggaplah dia masih gadis) berumur 16 tahun itu cuma terbagi menjadi 3 golongan. Hipster indie, Korea maniak dan remaja tanggung kampungan followernya AwKarin. Tapi Gloria ini berbeda, ia mengabdikan masa remajanya yang berprestasi sebagai salah satu anggota Paskibraka tingkat Nasional yang proses seleksinya melibatkan tes keperawanan (sesuatu yang konon mulai langka di kalangan remaja puteri). Sontak dalam waktu beberapa hari menjelang hari “kemerdekaan basa-basi” di 17 Agustus kemarin, nama mereka melejit menjadi kehebohan dunia maya. Ribuan simpati, pujian, bully, caci maki mengalir deras menghiasi lini masa gawai kita. Semua itu terjadi hanya karena persoalan kewarganegaraan, yang kemudian kita tarik lagi bersama-sama menjadi perkara nasionalisme.


Isyu kewarganegaraan dan nasionalisme ini seakan menjadi problematika yang tiada titik terangnya. Ibarat onani dengan pelumas balsam cap kampak, panas. Ya kita semua sadar bahwa Indonesia itu adalah sebuah Negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam campuran suku bangsa dan ras, dan masalah “nasionalisme” ini memang salah satu isyu “panas” yang kerap dilempar oleh pihak-pihak berkepentingan menjelang beberapa event tertentu. Sialnya, ternyata banyak orang yang terkena imbas dari “racun” itu  dan kemudian menafsir perihal rasa cinta tanah air untuk kemudian mendangkalkan maknanya seperti melihat warna  hitam dan putih. Padahal masalah nasionalisme itu sama sekali nggak berbanding lurus dengan kewarganegaraan seseorang, jauh lebih kompleks dari itu. Kamu nggak bisa bilang bahwa kamu memiliki cinta yang lebih besar kepada Indonesia hanya karena matamu belo, kulitmu coklat dan namamu Supriyanto, dibandingkan tetanggamu yang sering kamu teriakin “Cina”.


Lagipula, apa sih yang dimaksud dengan nasionalisme?? Memang kamu tahu?? Menurut KBBI, nasionalisme adalah suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara sendiri. Dalam kalimat diatas terdapat sebuah kata “mencintai”. Itu pokok dari arti nasionalisme. Sedangkan cinta sendiri adalah suatu hal yang absurd. Bukan seperti beras yang bisa dihitung perkilo. Jadi, sangat tidak tepat mengukur tingkat kecintaan seorang warga negara hanya lewat selembar surat, asal muasal nenek moyang, warna kulit, dan hal-hal fisik nan retorika lainnya.


Sejarah sendiri mencatat beberapa nama yang mungkin terdengar asing di telinga kamu yang lebih suka bales-balesan komen Facebook daripada membaca. Sosok asing tersebut mengorbankan kepentingan pribadi bahkan jiwa dan raganya demi kecintaannya terhadap sebuah negara bernama Indonesia.


Yang pertama ada seorang wanita asal Skotlandia bernama Muriel Stuart Walker (mungkin sepupunya Johnie Walker).  Wanita ini sebenarnya berkarier sebagai penulis naskah film di Holywood, namun akhirnya ia harus ikut migrasi bersama suaminya menuju Bali pada tahun 1932. Di Bali Muriel diangkat anak oleh raja setempat dan mengganti namanya menjadi K’tut Tantri. Selama perang kemerdekaan berkecamuk, K’tut Tantri bergabung dengan laskar pejuang dan ikut bergerilya bersama Bung Tomo yang legendaris itu. K’tut Tantri menjadi saksi keganasan Arek Suroboyo menghadapi mesin perang Inggris dalam peristiwa 10 November yang kemudian dikenang sebagai hari Pahlawan. Ia juga menjadi penyiar “Voice of Free Indonesia” dan bahkan membuat pidato bahasa Inggris pertama untuk si Bung Besar, Soekarno. Pendengar siarannya yang mayoritas warga Eropa menjuluki K’tut Tantri “Surabaya Sue”. Sampai akhir hayatnya Muriel Stuart Walker a.k.a K’tut Tantri nggak pernah memegang paspor Indonesia. Kamu berani meragukan nasionalime-nya??


Kemudian ada pria asal Belanda bernama Jan Cornelis Princen, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Haji Johannes Cornelis Princen. Pria yang sewaktu muda dipaksa masuk menjadi tentara KNIL ini dikenal tidak menyukai segala bentuk penindasan yang membuatnya terus memperjuangkan hak-hak asasi manusia.  Karena penindasan itu juga yang membawanya membelot dan disertir untuk bergabung bersama TNI pada saat agresi militer Belanda yang kedua. Keluar masuk hutan bergerilya bersama pasukan Divisi Siliwangi menuju Jawa Barat membuat Jan Cornelis Princen mendapat Anugerah Bintang Gerilya oleh Presiden Soekarno. Selepas perang fisik, Jan Cornelis Princen aktif dan populer di dalam dunia politik. Banyaknya ketimpangan dan kecurangan membuatnya mengundurkan diri dari parlemen sambil terus bersuara tegas kepada pemerintah. Keluar masuk penjara adalah makanan bagi Jan Cornelis Princen karena kritik tajamnya kepada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru. Hingga pada tahun 1981 ia ikut mendirikan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia). Sepanjang hayatnya pria asli Belanda ini dikenal sebagai pejuang HAM di Indonesia. Kamu masih meragukan kadar nasionalisme-nya??


Oke, kalo dua nama diatas terdengar asing bagi kamu, mari kita membicarakan nama yang lebih familiar di telinga. Pernah mendengar nama Susi Susanti. Nama yang sangat membumi dengan prestasi selangit. Atlit bulutangkis legenda Indonesia ini lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat dengan nama asli Wang Lian Xiang. Yes, Kak Susi ini punya darah Tionghoa kental mengalir di dalam dirinya. Kalau saja ia tidak meraih emas Olimpiade Barcelona tahun 1992, mungkin orang akan mengumpat “Dasar Cina” kepadanya seandainya Susi membuka toko kelontong dan harga barangnya nggak bisa ditawar.


Namun apa boleh bikin, Allah SWT, Tuhannya umat Islam -bukan Tuhannya Susi karena dia sendiri Kristen- malah menakdirkan Susi Susanti menjadi kebanggaan negara yang sebagian warganya membenci etnis Tionghoa. Saat itu pembenci etnis Tionghoa terpaksa menjilat ludahnya sendiri kala mereka tanpa sadar ikut mengelu-elukan nama Susi Susanti sebagai pahlawan bangsa Indonesia setelah menggondol pulang medali emas pertama di Olimpiade melalui cabang bulu tangkis tunggal putri. Meski telah menjadi pahlawan olimpiade tidak lantas membuat Susi Susanti memperoleh perlakuan setara sebagai bangsa Indonesia. Saat hendak menikah dengan Alan Budikusuma -yang juga menyumbang emas olimpiade di tahun yang sama dengan Susi-, dirinya menemukan kesulitan birokrasi yang membuatnya kecewa. Susi yang lahir di Jawa Barat dan fasih berbahasa Sunda ini menghabiskan masa mudanya berlatih bulutangkis demi mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Dimana kurangnya nasionalime Susi Susanti??


Yang paling update, masih dari dunia bulutangkis, di Olimpiade Rio 2016 cabang olahraga unggulan Indonesia ini kembali unjuk gigi dengan memulangkan tradisi emas bulutangkis ke pangkuan ibu pertiwi. Duet maut Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir berhasil menghajar pasangan dari negara tetangga Malaysia di babak puncak. Kemenangan terasa semakin bermakna karena terjadi persis di tanggal 17 Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Pagi hari kita disajikan seremonial basa-basi setahun sekali yang terasa membosankan. Namun pada malamnya, tanggal 17 Agusutus manis ditutup dengan euphoria “nasionalisme” yang meluap-luap karena lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan sambil mengiringi bendera sangsaka merah putih naik menjadi yang tertinggi di kota Rio de Jeneiro.


Kemenangan monumental hari itu sekali lagi mengajarkan kita tentang arti “nasionalisme” yang sebenar-benarnya.  Tentang menjadi “Indonesia” secara utuh. Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Liliyana Natsir dan puluhan bahkan ratusan atlit bulutangkis keturunan Tionghoa lainnya nggak perlu mengganti nama, berpindah agama, atau bahkan operasi mata dan kulit hanya untuk membuktikan bahwa mereka adalah bagian  sah dari Indonesia yang didominasi oleh sekelompok orang dengan atribut yang berbeda.


Maka katakanlah Arcandra, Gloria, Muriel, Jan Cornelis, Susi, Alan, dan Liliyana bukan orang Indonesia asli. Sehingga nasionalisme-nya serta merta boleh diragukan. Terus apa kabar dengan kita?? Saya dan kamu?? Iya kamu. Apa yang sudah kamu berikan terhadap negara?? Berbagi postingan SARA di Facebook dan menganggap perbuatan itu pencerahan bagi masyarakat?? Menganalisa peta perpolitikan tanah air berdasarkan postingan temenmu dan menganggap itu edukasi??? Mengajak orang lain untuk menurunkan Presiden terpilih CUMA melalui twitter dan berpikir itu revolusioner??? OMONG KOSONG.


Kamu tersinggung?? Lebay ah kamu, kaya baru aja tinggal di Indonesia.