Senin, 30 Mei 2016

Ini 5 Alasan Kenapa Cinta Nggak Usah Balikan Dengan Rangga




Sebulan terakhir ini kita dihebohkan oleh beberapa peristiwa yang mengguncang dunia (maya). Mulai dari isyu basi tentang kebangkitan kuminis hingga si Papa yang tertidur berdiri saat mengheningkan cipta. Tapi semua peristiwa di atas tidak mampu menggulingkan fenomena sebuah sekuel film yang sangat ditunggu kelanjutannya oleh hampir separuh dari penduduk nusantara. Ya, film tersebut ialah Ada Apa Dengan Cinta, atau lebih popular dengan akronim ACDC, eh AADC maksudnya. Betapa tidak, film yang rilis pada tahun 2002 ini merenggut (semacam keperawanan) hati jutaan remaja yang kala itu minim hiburan berkelas atau minimal film yang layak tonton di layar lebar. Era 90an akhir menuju awal millennium memang masa-masa gelap dari perfilman Nasional. Masa itu, film semi-semi yang dibintangi Kiki Fatmala, Malvin Shayna, dan Renaldi sedang merajalela. Hanya sekali dua kali film komedi slapstick Warkop yang ikut meramaikan. Itu juga lagi-lagi dibumbui adegan kontes ratu pantai yang diperankan dengan gemilang oleh Inneke Koesherawati dan kawan-kawan. Satu-satunya sinyal positif dunia seni peran Indonesia hanya ditandai oleh kemunculan Panji si Manusia super dengan kostum ketat dan berbelah tengah ala-ala Nick Carter.


Tidak heran mestinya jika industri layar lebar menjadi lesu dan sepi penonton. Film yang diproduksi dengan bajet dan akal sehat minim sudah pasti nihil hasilnya. Para penonton karuan memambatkan hati kepada film Hollywood Box Office sebagai ajang pelepas rindu terhadap film Nasional berkwalitas. Sampai suatu hari film AADC pun menghiasi layar bioskop. Bagai oase di padang gurun, film yang disutradari oleh Rudi Soedjarwo itu diserbu jutaan remaja yang haus (wahana pacaran) akan film bermutu. Sejak saat itu bisa dikatakan AADC lah tonggak bersejarah bangkitnya industri film Indonesia dari tidur yang panjang.


Mengingat kesuksesan dan nama besar AADC sebagai “brand” yang sudah melegenda, tentu gak mudah bagi Riri Riza sebagai sutradara untuk merumuskan formula dari pendahulunya agar film ini mampu meraih hasil akhir yang kurang lebih sama. Bukan hal mudah memang memenuhi ekspektasi jutaan die hard fans Dian Sastro yang rela buka tenda di depan gedung bioskop demi nonton film ini lebih dulu. Dan ketika akhrinya sekuelnya dirilis, tentu banyak komentar positif, nyinyir hingga ketidakpuasan atas kembalinya Cinta kepada pangkuan Rangga. Termasuk saya. Saya mungkin adalah orang pertama yang protes dengan fakta tersebut. Bagaimana tidak, coba bayangkan bagaimana rapuhnya perasaan Trian (walaupun tetap tampak playboy) yang diperankan oleh Ario Bayu. Pasti anyep. Macam tokay disiram di wc. Nggak enak fren. Coba sekarang kalian semua bayangin. Cinta yang tampak sangat paripurna kecantikannya di usia early 30’s , begitu saja lolos hanya karena datang si mantan legendaris yang.., yang.., yang mungkin saja menggagahi Cinta waktu mereka piknik bareng di Amerika. Hell no my friend, hell no. Sebagai laki-laki tulen, kejantanan saya merasa ternodai oleh ending film tersebut. Mungkin ada yang sepakat dengan saya, ada juga yang tidak. Bebas saja, selama kita nggak saling menyakiti rasanya boleh kan berseberangan pendapat tanpa harus ditarik-tarik ke masalah agama. Gak ada kan ya kelompok-kelompok tertentu yang akan membantah saya dengan dalil yang menguatkan pilihan Cinta untuk embung move on dari Rangga???


Oke, biar keliatan logis, berikut adalah alasan-alasan kenapa Cinta nggak harus balikan sama Rangga. Alasan-alasan dibawah sudah melalui proses riset dan ditinjau dari aspek psikologi, sosiologi, antropologi, dan juga ekonomi. Jadi silahkan disimak dan direnungkan baik-baik.


Mantan adalah alumni hati.

Itu adalah sepenggal kalimat dari Ridwan Kamil yang mengangkat tema “mantan” dalam sebuah stand up komedi ala-ala di televisi swasta. Selayaknya alumni, tentulah kita kadang merasa kangen dengan almamater sekolahan dulu. Pernah dong kamu tetiba ngerasa kangen mau manjat pager sekolah waktu terlambat dateng hari Senin. You already missed the scene, the scent, the view, the action, even the “got caught” moment. Tapi kalo disuruh manjat pager sekarang, apa kamu mau?? Mau sekolah lagi?? Bikin PR lagi?? Ketemu Pak Maslam lagi?? Mau?? Hah?? Hah?? Haaah!!???


Kangen beda tipis sama horny.

Mirip dengan alasan pertama. Tapi kalo yang atas cuma sebatas emosi dan hawa-hawa doang, yang ini selangkah lebih terdepan. Biasanya alasan ini merujuk pada suatu eksyen. Kita semua tahu bahwa Cinta dan Rangga tumbuh di lingkungan keluarga yang moderat dimana Cinta pulang malem kagak langsung dimasukin pesantren oleh bapaknya dikemudian hari. Pun dengan Rangga. Dibesarkan oleh bapak yang eksentrik dan lantas nyambung kuliah di “state” pasti melengkapi ke-liberal-an pemikiran jejaka gemar berpuisi itu. Bisa ditebak, saat Cinta vakansi bersama keluarga ke USA (yang mana hanya digambarkan oleh sebuah foto bareng Rangga degan latar pemandangan Amerika), sudah pasti Rangga dan Cinta melepas rindu. Dan bisa aja dijadikan ajang melepas “tai macan” oleh Rangga yang nyaris kanker prostat karena minim ejakulasi sejak keberangkatannya ke negeri paman Sam.

“Ah,nggak mungkin. Rangga kan lelaki baik-baik. Nggak mungkin dia menodai Cinta!!” Itu kan katamu. Tapi Rangga (bukan Nicholas Saputra) tetap saja lelaki biasa yang bisa ngaceng juga kalo pas lagi piknik “beceng”nya kesenggol oleh lentiknya jemari Cinta. Jadi kita udah sepakat nih ya kalo Rangga dan Cinta indehoy sejenak saat mereka jumpa di Amerika. Oke, setelah mereka akhrinya balik ke Negara masing-masing dan Rangga ketemu dengan cabe-cabean New Jersey, sontak Rangga belagak pilon dengan keberadaan Cinta di Jakarta yang mungkin sedang merenung khas remaja wanita yang khilaf ml karena kebawa suasana. Ditengah perenungan itulah Cinta mendapat kabar buruk bahwa Rangga memutus tali silaturahmi. “JELEGER” bagai petir di siang bolong bulan Desember di atas gunung Bromo, Cinta menggelapar tak berdaya. Harapannya pupus. Hatinya hancur.Begitu pula dengan hidup dan sekolahnya.

Sampe satu saat dimana akhirnya Rangga mesam-mesem ngajak balikan setelah nggak ketemu 10 tahun, harusnya Cinta tahu kalo Rangga cuma horny. Gimana enggak?? Mereka berdua sebenarnya tahu bahwa urusan hati harusnya sudah selesai dari jauh-jauh hari. Cinta move on bersama Trian, sedangkan Rangga betah melajang dan ngurus Coffee Shop. Memang bukan situasi ideal, tapi itulah hidup. Kenyataan indah kadang hanya too good to be true momen saja. Jadi biarlah pagi itu Cinta nggak usah balik ke Jakarta. Extend satu hari lagi di Jogja. Lebih tepatnya di penginapan Rangga. Do whatever they have to do. Puaskan rasa penasaran Rangga yang mungkin belum sempat mecoba gaya tertentu waktu di Amerika lalu. Niscaya setelah mereka berdua selesai menuntaskan libido, akal sehat yang sempat terombang-ambing emosi mulai memainkan peranan. Adegan selanjutnya bisa ditebak. Rangga akan mengambil sebatang rokok menthol untuk mencairkan suasana canggung.

“Cinta, kayanya apa yang kita lakukan salah ya..,
saya tau kamu sudah tunangan. Tapi, kecantikanmu..
Membiusku… Huvt”.

Kira-kira itulah yang keluar dari mulut Rangga. Cinta pun yang sudah dewasa secara mental tentu nggak akan panik karena telah bersenggama dengan mantan masa SMA-nya. Paling top Cinta akan memeluk Rangga dari belakang dan berbisik.

“Rangga, yang kamu lakukan pada saya barusan,.. Rawwrr..”

Kemudian Rangga akan mengantar Cinta ke bandara sambil haha-hihi karena gairah sudah tuntas. Tak ada dendam maupun sakit hati. Mereka memutuskan untuk bersahabat dan membuka bisnis tempat les kumon di New York.



Hormati orang yang mengangkatmu dari parit derita

Siapapun yang pernah patah hati akut mesti tahu yang namanya parit derita. Parit derita ialah sebuah tempat imajinatif yang diciptakan sendiri oleh penghuninya. Biasanya karena sakit hati dan pertanyaan besar yang tak terjawab. Dalam konteks AADC, Cinta lah penghuni parit derita. Bertahun-tahun Cinta menahan sakit, melawan kenyataan bahwa ia dicampakkan Rangga tanpa alasan jelas. Rangga pun menghilang seperti tokay di flush dua kali. Sampai suatu hari ketika Cinta mulai menerima kenyataan bahwa Rangga memang lelaki bajinguk yang cuma bisa kabur setelah “ena-ena”, bertemulah Cinta dengan Trian yang mencoba untuk mencuri hati. Terlepas dari fisik Trian yang mumpuni, menyembuhkan hati perempuan yang terluka itu memang faktanya lebih sulit daripada merangkai rumus fisika nuklir. Cinta yang begitu sempurna secara fisik saja mampu memendam kecewa selama beberapa tahun sebelum akhirnya bertemu Trian. Secara teori nggak sulit bagi Cinta mencari pengganti Rangga sesaat melangkahkan kaki di kampus. Namun, cinta kan persoalan hati, bukan teori di atas kertas.


Semestinya Cinta lebih menghargai usaha Trian yang mungkin saja gelar tenda 7 hari 7 malam demi dapet perhatiannya. Namanya orang patah hati pasti sempat ada rasa enggan untuk menjalin hubungan baru. Dan Trian lah sosok macho dengan mobil mewah yang mampu mengubur (walaupun puisi Rangga masih tersimpan di lemari) sosok puitis lelaki kriwil yang dicipok Cinta di bandara Soeta. Dan atas nama respect, hubungan Rangga dan Cinta di Jogja harus dihentikan di momen persenggamaan 20-30 menit saja sebelum akhirnya Cinta kembali menjalani hari dengan biasa bersama Trian di Jakarta.


Balancing is everything.

Oke, kita masuk ke alasan ke empat. Hidup itu seperti berjalan di atas tali tipis dengan jurang penuh buaya dan bencong di bawahnya. Artinya, keseimbangan amat sangat diperlukan. Tiada yang lebih seimbang dengan hidup saling mengisi dengan pasangan. Itu juga yang harusnya dipertimbangkan oleh Cinta. Hmm, mungkin terlihat sempurna hubungan dua orang yang gemar mengomentari puisi dan karya seni. Tapi coba deh dipikirkan lagi?? Apa enggak bosen ngomentarin puisi melulu??? Sebagai gambaran, silahkan mencermati hubungan antara dua insan manusia yang punya kegemaran menyanyi akut seperti Dewi Persik dan Saiful Djamil. Hampir separuh hubungan mereka yang sialnya diekspos media diisi dengan bernyanyi. Balas-balasan lagi. Baik saat mereka sedang romantis maupun menjelang hubungan pernikahannya yang karam karena ternyata bang Ipul doyan lakik, eh…

Kebayang dong kalo Cinta dan Rangga ribut kaya gimana?? Rangga yang oldschool alih-alih vintage tetep aja maksa kirim surat yang berisi unek-unek daripada cahat pake media Line, misalnya. Terus Cinta yang masih saja ngikutin kaidah berbahasa yang baik dan indah saat mergokin Rangga bersetubuh dengan ART mereka yang seksi banget di kamar belakang. Mungkin Cinta marah, tapi jadi aneh kalau tetep make EYD. Misalnya begini.

“Hei kamu, laki-laki terkutuk. Dusta kamu.!!
 Saya kira benar adanya fakta bahwa kamu bermain gaple dengan tetangga sebelah. Ternyata kamu bercinta dengan Asisten Rumah Tangga kita yang memang harus saya akui bertubuh molek!!!”.

Aneh kan?? Jadi gimana?? Sepakat dong sama saya? Jadi jelas pilihan Cinta bersama Trian yang blas nggak ngerti seni tapi mungkin saja trengginas di ranjang (who knows??).


Cinta butuh puisi sampe umur 34, sisanya butuh perawatan.

Sad but true. Mungkin banyak yang kecewa dengan alasan yang terakhir ini. Jujur saya juga kecewa kok. Tapi memang memelihara kecantikan cinta nggak cukup dengan dibacain puisi sampe ketiduran aja. Well, Rangga juga bukan tipe cowok mokondo (modal konci doang) sih. Dia juga usaha buka Coffee Shop di New York. Tapi ya kalo ngukur-ngukur biaya perawatan Cinta yang bombastis, nggak heran kalo sosok Rangga pun memilih mundur dan jiper ketika babenya Cinta nyiyir supaya Rangga cepet kerja. Inget, di Indonesia nikah itu bukan cuma dua insan yang saling mencintai saja. Tapi lebih ke dua keluarga yang butuh banget pengakuan lingkungan sosial bahwa anak kebanggannya dapet jodoh laki-laki atau perempuan yang baik, mapan, sayang mertua, sopan, alim, agamis dan hal-hal munafik lainnya.

Kecuali Rangga mirip sosok Radit dalam film Radit dan Jani, mendingan nggak usahlah nekad kawinin Cinta. Begitupun dengan Cinta. Kalo kuping masih tipis dengerin nyiyiran keluarga besar yang sering ngomentarin suaminya pas Lebaran, mendingan nggak usah coba-coba mikir untuk berani hidup sama Rangga.

“Cinta, mana suami kamu?? Eh Tante lupa deh, tentu aja si Rangga lagi ngurusin warkop nya kan ya??? Ahahahahaha (ketawa dengan tone yang TAI banget khas emak-emak kaya nan sombong). “

Kira-kira gitulah komentar keluarga besar Cinta yang saya asumsikan pasti kaya raya. Coffee Shop di distrik sibuk macem New York enteng aje disebut warkop sama si Tante seolah-olah Rangga jualan kopi sama bubur ayam di pinggir jalan Lenteng Agung. Kalo sudah begitu baru deh Cinta sadar bahwa keluarga memang memainkan peran yang besar dalam percaturan asmaranya. Tapi apa daya, nasi sudah jadi dubur, eh bubur. Paling-paling Cinta stres, lalu ribut sama Rangga, dan diakhiri dengan bales-balesan puisi lewat pos. Kemudian Rangga pergi lagi untuk kedua kalinya tanpa pesan bersama cabe-cabean bule waitress coffee shop nya mayan cakep juga kalo diliat-liat. Di Amerika, nggak bakal ada Tante-tate babi yang suka nyela laki keponakannya. 


Nah, kira-kira begitulah alasan yang bisa saya utarakan berkaitan dengan keberatan saya terhadap ending AADC yang menurut hemat saya kurang Indonesia-wi gitu lho. Semoga pihak Miles berkenan untuk membuat AADC The Unexpected Truth (with alternate ending) dimana kisahnya menjadi Cinta yang tetap balik ke Trian dan menjadikan Rangga psikopat puitis yang lebih kejam dari Joker yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger.

Akhir kata, sebagai penikmat film dan perempuan cantik, saya merasa terhibur oleh penampilan Dian Sastro yang dengan gemilang masih menjaga mood saya sama seperti 14 tahun lalu saat membolos sekolah demi AADC pertama. You did a great fucking job.

Jayalah terus Dian Sastro. Jayalah terus perfilman Indonesia.
  

Kamis, 19 Mei 2016

Nekad Membawa Nikmat

Ini adalah sebuah acara Kompetisi Blogger ShopCoupons X MatahariMall. Yang diselenggarakan oleh ShopCoupons. voucher mataharimall dan hadiah disponsori oleh MatahariMall.
mataharimall-kompetisi

Apa yang elo lakuin kalo lagi bosen sama hidup yang gitu-gitu aja dan butuh hiburan, sementara uang di kantong cuma ada 120 ribu??? Hmmm.., mungkin ada yang berpikir untuk pergi ke bioskop nonton film bagus. Atau, jalan-jalan ke mall sambil window shopping. Sebagian lagi mungkin berpikir buat nongkrong di café atau resto. Yah pokoknya apa ajalah kegiatan yang bisa orang biasa lakuin, pasti elo lakuin dengan uang jumlah segitu.


Cuma sayangnya gue bukan orang biasa. Makanya saat uang di kantong cuma ada 120 ribu, gue pergi ke Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah. Iya beneran ke Dieng bersama dengan dua orang teman namanya iwan dan Antok. Itu yang gue lakuin saat hidup mencapai titik kulminasi mid-life crisis. Dulu waktu masih remaja gue sama sekali gak berpikir akan berada di titik dimana gue akan bosen nongkrong gak jelas dan mulai mempertanyakan hidup. Tadinya gue beranggapan nongkrong is the greatest thing in life banget lah. Gak akan ada bosennya. Ngobrol sama sahabat-sahabat karib di atas balkon rumah sambil menghabiskan rokok sebatang demi sebatang, indomie semangkok demi semangkok sampai hari beranjak pagi.


Tapi ternyata pola pikir berubah seiring lilin ulang tahun yang terus berganti angka belakangnya. Berbagai peristiwa cukup menggoncang bathin gue dan juga kawan-kawan nongkrong. Akhirnya tibalah kami di gerbang mempertanyakan eksistensi hidup dan makna kehidupan itu sendiri. Dan saat berbagai pertanyaan tidak menemukan jawaban, mungkin itu saatnya untuk melihat dunia,yah paling engga melihat tempat lain di luar dari kehidupan kami sehari-hari. Dan diputuskan tempat itu adalah dataran tinggi Dieng.


Sebenarnya Dieng gak tercetus begitu saja karena disaat yang bersamaan Antok berencana untuk mengunjungi Nenek dan Bibinya di kampung halaman yang kebetulan hanya berjarak 3-4 jam saja dari Wonosobo. Jadilah momen itu dimaanfatkan untuk liburan sekaligus rekonsiliasi lini-lini kehidupan oleh gue dan tentunya Antok.


Menjelang berangkat kami semua sangat bergairah membayangkan panorama perbukitan serta sawah yang menghijau. Tapi, ada satu kendalanya. Persedian uang ternyata sangat tipis dan sepertinya kurang untuk biaya beberapa hari di Karanganyar, Wonosobo dan Dieng. Namun begitu kami pantang berputus asa dan tetap nekad dengan pendirian awal untuk liburan keluar kota.


Angin segar datang saat ternyata ada dua orang teman yang juga berencana untuk ke Dieng dan berbaik hati mau membayarkan penginapan selama 2 hari disana. Tips pertama saat mau liburan ditengah krisis keuangan. Jangan pernah berhenti berdoa, karena rezeki bisa dari mana saja datangnya. Termasuk dari teman yang tanpa angin tanpa hujan mau berbelas kasih dengan memberikan penginapan gratis. God is good. Tuhan selalu bersama orang-orang nekad, percayalah. Karena gue membuktikan sendiri banyak kejadian yang sebenarnya biasa aja, tapi menjadi luar biasa ketika kita sedang membutuhkannya.


Hari H keberangkatan pun tiba. Muke gue terlihat pede dengan gaya selangit sambil menenteng ransel operasional TNI pemberian seorang teman dan handycam ditangan. Semangat liburan menggebu di dada walaupun duit di dompet cuma 120 ribu. Sampai di stasiun Jatinegara pukul 6 pagi lebih sedikit. Kami naik kereta pukul 7. Sisa waktu menunggu kereta kami habiskan dengan mencela orang-orang yang terlihat mau pulang kampung walaupun belum musimnya mudik. Khas orang kota kami nyinyir kepada orang-orang desa dengan wajah polos yang keliatan lelah bolak-balik Jakarta ke kampungnya entah berapa minggu sekali.


Saat itu gue inget betul harga tiket kereta ke Karanganyar cuma 30 ribu rupiah saja. Di saat ekonomi menipis selalu usahakan untuk naik kereta kelas ekonomi agar urusan perjalanan menjadi ekonomis. Kata ekonomi terdengar akrab untuk kita masyarakat dengan ekonomi lemah, padahal dulu saat sekolah gue gak suka pelajaran ekonomi. Jangan bandingkan kereta ekonomi tahun 2016 dengan kereta ekonomi pada tahun 2009. Keadaannya berbeda 180 derajat jungkir balik. Pada era itu, mencium bau badan sendiri di dalam kereta kelas ekonomi adalah bukan perkara yang mudah. Karena aroma gerbong didominasi oleh bau badan orang lain yang entah makan apa dan habis ngapain. Suasananya pun lebih mirip basian pasar malem pulang rame-rame kearah yang sama naik kereta api. Di dalam gerbong, sangat mungkin elo menemukan orang dengan dagangan yang besarnya dua sampai tiga kali dari ukuran penjualnya sendiri. Atau tiba-tiba ada seorang penumpang yang bisa saja membawa hewan piaraan atau yang lebih ekstrimnya lagi ada sekelompok rombongan topeng monyet lengkap dengan ular sanca terbungkus karung menggeliat gelisah di lantai kereta. Intinya, kereta api kelas ekonomi bukanlah pilihan yang bijak untuk berlibur, namun harus diterima sebagai konsekuensi nekad liburan dengan dana mepet.


      Gue pusing karena duit mepet tapi napsu piknik



                  Suasana kereta yang chaos


                  Gak dapet duduk gak masyalah


Sabar adalah kunci. Itu yang harus dijadikan pegangan penumpang kereta ekonomi, termasuk gue. Menejelang sampai di stasiun Karanganyar kami membeli makanan sarapan yang entah mengapa terasa begitu lezat padahal kebersihannya sudah pasti diragukan. Harga makanan yang dijajakan oleh ibu-ibu penjaja makanan sangatlah murah. Tidak sampai sepuluh ribu rupiah kita sudah bisa makan dengan nasi pecel sayur kumplit dengan tempe dan peyek teri. Saat sedang asik menikmati makanan, kereta semakin penuh dan bertambah gerah. Nafsu makan sempat kandas karena udara pengap. Dan ditengah suasana panas mirip hawa dalam kaleng sarden, tampaklah seorang kakek dengan tanpa dosa merokok kretek dan menghembuskan asap kesana kemari. Ibarat sudah jatuh tertimpa gardu. Sudah pengap, sempit, ada asap rokok pula. Tapi ya itu tadi, harus banyak bersabar karena beberapa jam kemudian si kakek sekali lagi menjadi aktor utama penyebab kegaduhan di dalam gerbong. Setelah puas merokok si kakek ternyata juga merasa harus banget buang hajat kecil. Padahal sih mestinya dia tahan aja lah ya, toh dia juga tau kalau di toilet kadang dipenuhi juga oleh penumpang yang gak kebagian duduk di gerbong. Dan sialnya saat itu yang lagi melipir kesana adalah gue dan Iwan. Si kakek tanpa basa basi menggedor pintu toilet yang lantas disambut oleh suara teriakan dari dalam kalau toilet gak bisa dipake karena ada penumpangnya. Tapi tampaknya si kakek ini tipe yang “don’t know don’t care” banget. Dengan suara lirih beliau mengancam kalau gak dibukakan pintu si kakek nekad kencing di dalam gerbong. Akhirnya kami mengalah dan membiarkan si kakek masuk ke toilet sementara kami tentu saja keluar dengan ekspresi dongkol.



Akhirnya dengan penuh perjuangan, peluh, darah dan air mata, kami semua sampai dengan selamat di Karanganyar. Dari stasiun demi menghemat biaya perjalanan kami berjalan kaki. Selain sehat kami juga kegerahan dan merasa haus. Rencananya kami akan manginap di rumah Bibi dari Antok yang berlokasi di.., ya benar, di atas bukit. Perjalanan dari stasiun menuju pusat kota Karanganyar yang cuma segaris mirip deretan ruko di kawasan Ciputat itu ternyata belum cukup. Jalan mendaki kearah bukit menjadi menu kami selanjutnya. Antok yang memang atlet karate menganggap rute tersebut layaknya jalan santai. Sementara gue dan Iwan yang lebih suka tidur siang daripada work out merasa jalanan menanjak sejauh hampir 5 km itu seperti ujian praktek olah raga sebagai syarat kelulusan Ebtanas. Berat.


      Menjelang tanjakan maut bukit rumah Bibinya Antok

Saat menginjakkan kaki di rumah Bibinya Antok, gue dan Iwan sudah merasa harus ditandu ke klinik terdekat untuk mendapat perawatan. Keadaan bertambah parah kala si Bibi mencoba terlihat pengertian atau lebih tepatnya membaca raut muka kusut kami yang kehausan dan langsung menghidangkan teh panas. Apa boleh bikin, tenggorokan yang kering kerontang langsung amburadul kena siram air panas. Karena jujur saja gue mengharapkan si Bibi menelpon Mcdonald dan order Lychee Float sebagai pengganti ion-ion yang dengan terpaksa menguap dari tubuh.


Overall, keluarga dari Antok menyambut kami bagaikan anak mereka sendiri. Ini berguna banget untuk menghemat biaya. Karena selama 2 hari disana mereka menjamin makan tiga kali sehari dan memberi fasilitas menginap yang walaupun jauh dari kata mewah tapi cukup nyaman. Well at least kami gak digigit nyamuk ataupun dipindahin jin keatas kubah karena nekad tidur di Masjid dengan badan kotor dan bau. Sekali lagi, mempunyai teman atau keluarga di daerah luar kota adalah benefit untuk momen liburan dengan dana pas-pasan.



          Iwan berusaha akrab dengan sodaranya Antok



                   Antok bersantai sore hari


Selama dua hari di Karanganyar banyak kejadian yang membuat gue dan Iwan culture shock. Biasa lah, anak Jakarta masuk desa pasti selalu saja ada hal yang aneh terjadi. Mulai dari penyesuaian indera pendengaran kami yang terbiasa dengan suara hingar bingar kota tiba-tiba tidak mendengar suara apapun selain jangkrik dan tokek saat malam hari. Gak  usah heran, rumah Bibinya Antok ada diatas bukit. Jarak satu rumah dengan yang lain sekitar 7 kali lapangan bola. Yang lebih bikin stress adalah ketiadaan ruangan buang hajat yang memadai. Bokong gue yang terbiasa dengan wc standart ibukota harus kompromi dengan kakus terbuat dari susunan batu bata di dalam sebuah ruangan sempit tanpa atap. Jadi saat malam hari gue bisa boker di kamar mandi beratapkan bintang-bintang. Romantis bukan main. Keadaan berbanding terbalik saat siang. Di atas kamar mandi tak beratap ada dahan pohon cukup besar yang ternyata merupakan wahana bermain ular hijau yang sempat gue lihat saat buang hajat. Seketika badan gue kaku, feses gue batal keluar.


                        Mandi di sungai

                      Kampung diatas bukit

Hari ketiga, kami pamit dengan Bibinya Antok sekeluarga. Neneknya Antok sempat mencoba menngucapkan sesuatu dengan bahasa Jawa old school yang belum pernah gue denger sama sekali dalam hidup. Demi menjaga adab, gue cuma bilang “inggih” sambil ngangguk-ngangguk memberi gestur gue paham dia ngomong apa, padahal enggak. Dengan semangat menggebu kami jalan turun bukit. Sampe bawah semangat kami hilang. Capek.


Selanjutnya perjalanan ke Wonosobo kami menumpang bis. Ongkos bis sepuluh ribu saja. Saat itu duit di kantong gue tersisa sekitar 70 ribuan. Semangat masih pantang kendor walaupun cadangan devisa udah mepet. Gue masih yakin bisa balik ke Jakarta. Begitu juga dengan teman-teman gue. Sampai di Wonosobo kami langsung mengisi perut. Waktu itu gue ditraktir si Iwan yang ternyata baru saja mendapat dana talangan via transfer dari seorang teman di Jakarta. Setelah foto-foto sebentar, perjalanan dilanjutkan lagi dengan menaiki bus dengan ukuran yang lebih kecil ke dataran tinggi Dieng. Sekedar info saja, mungkin ada yang belum tahu kalau dataran tinggi Dieng adalah satu dari dua tempat tinggi di dunia yang ditinggali penduduk selain di Nepal sana. Selama kurang lebih 2 jam bis dengan tarif 10 ribu itu membawa kami meliuk-liuk melewati jalan menanjak dengan pemandangan kanan kiri ladang kol dan juga kentang. Jarang gue bisa menemukan pemandangan indah di Jakarta, jadi sebisa mungkin gue gak tertidur untuk menikmati alam perbukitan Dieng yang sangat indah.


Sampai di Dieng hari sudah siang. Disana kabarnya menunggu dua orang teman yang baru datang dari Jakarta. Mereka berdua ini yang berjanji akan membayar penginapan selama di Dieng. Gue, Antok dan Iwan ternyata sampai lebih dahulu. Gak lama dua orang teman baik hati itu pun muncul. Kehadiran mereka kami sambut bagaikan menyambut pahlawan perang salib yang habis membantai musuh dalam rangka menyelamatkan bangsa dan negara. Sebelum masuk penginapan kami berlima makan di sebuah warung pinggir jalan. Karena uang yang sudah menipis gue cuma memesan nasi putih dengan sambal dan kuah opor saja seharga dua ribu rupiah. Ternyata si Ibu penjual merasa iba dan memberikan gue sepotong tahu secara gratis. Hampir saja gue menfaatkan kebaikan hati si Ibu dengan menyomot ikan tuna dan telur dadar. Tapi gue ingat nasihat guru ngaji agar jangan jadi orang yang lupa bersyukur. Gue pun urung nyolong dan berterima kasih pada Ibu pemilik warung makan dan Tuhan Yang Maha esa.


                       Sampe juga di Dieng

Pose dulu begitu nyampe


             Makan dua ribu pake nasi dan kuah disini

Yang dijanjikan pun tiba juga, kami dibayarin nginep di Dieng. Gue, Antok dan Iwan cuma bisa senyam-senyum saat Heri teman kami dari Jakarta berkata pada Pak Haji pemilik penginapan akan membayar biaya nginep kami disana sebanyak 1 hari. Sisa satu harinya lagi gue patungan dengan Iwan dan Antok. Lumayan murah juga, untuk ukuran penginapan yang cukup bersih harganya cuma 70 ribu. Heri dan Hendra ternyata sudah survey dulu lewat internet tentang penginapan murah di Dieng. Langkah yang bagus untuk wisata dengan budget terbatas, agar tidak terjebak dengan penginapan yang suka memberi harga mahal pada wisatawan Jakarta padahal fasilitas yang diberikan juga nggak bagus-bagus amat. Pokoknya kami habis-habisan menyiasati pengeluaran supaya bisa hemat kaya si Budi di video ini nih. Jadinya walaupun tanggal tua, uang juga menipis, tapi libuuran tetep jalan terus.






Dua hari di Dieng adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Udara Dieng yang dingin membuat penginapan disana gak butuh AC sehingga menekan biaya. Alih-alih kegerahan, kami malah kedinginan. Karena saat malam hari, suhu di Dieng menyentuh 3 derajat celcius yang bikin sweater biasa gak ada rasanya. Sayangnya saat itu belum ada Matahari Mall sih. Coba kalo ada, gue pasti akan beli jaket tebal melalui online sebelum berangkat ke Dieng. Apalagi ada program diskon hingga 80 persen setiap minggu ketiga, pasti akan tambah hemat lagi pengeluaran gue.


Penduduk Dieng juga sangat ramah. Kami akhirnya jadi akrab dan ngobrol bareng Pak Haji pemilik penginapan beserta istri dan anak-anaknya. Soal harga juga gak perlu khawatir. Harga makanan dan minuman disana bisa dibilang murah meriah. Namun tetap saja gue mengulangi menu makan harga dua ribu rupiah untuk hari berikutnya biar bisa menghemat pengeluaran karena masih akan mengunjungi beberapa tempat di Dieng. Salah satunya adalah Kompleks Candi Arjuna yang ternyata nggak kalah bersejarah dibanding Borobudur. Candi Arjuna ditemukan pertama kali oleh tentara Belanda bernama Theodorf van Elf pada abad 18 dalam keadaan banjir tergenang air. Sekitar 40 tahun kemudian dilakukan upaya penyelamatan candi oleh seorang Belanda bernama J. Van Kirnbergens. Masih banyak ternyata tempat-tempat menarik di daerah terpencil Indonesia yang punya potensi pariwisata menunggu untuk berkembang (saat itu Dieng belum seramai sekarang karena didongkrak oleh sekelompok pemuda pemudi yang rajin unggah foto di media sosial).


                      Kompleks Candi Arjuna



                  Negeri di atas awan

Tak terasa 4 hari sudah gue beserta Iwan dan juga Antok mengasingkan diri dari kota brengsek yang gak berbelas kasihan bernama Jakarta. Hari kelima adalah waktunya pulang untuk membawa kesan dan pesan yang kami dapat selama perjalanan menuju Dieng. Heri dan Hendra meneruskan perjalanan ke Yogyakarta untuk menelusuri kota yang pernah jadi Ibukota Indonesia di tahun 1948 itu. Kami berpisah di depan penginapan pak Haji yang legendaris sambil berjanji akan kembali lagi ke Dieng suatu hari (kelak Iwan, Antok balik lagi dan menginap disana beberapa tahun kemudian. Sayang Pak Haji sudah tidak ingat lagi pada mereka). Kami bertiga menumpang bis menuju arah Prembun untuk mengejar angkutan ke Karanganyar karena hari sudah beranjak sore.

                Foto bareng dulu sebelum balik

Menjelang pukul 5 sore kami sudah sampai di Prembun menunggu angkutan menuju stasiun Karanganyar. Uang di kantong gue tinggal 40 ribu. Masih aman untuk tiket kereta ke Jakarta. Permasalahannya adalah ongkos bus menuju stasiun. Berhubung bus yang ditunggu juga lama gak muncul. Timbul ide dari Antok untuk nebeng sama siapa saja yang menuju stasiun Karanganyar. Gue dan Iwan sih nurut aja karena tahu di kampung semacam Prembun orang masih banyak yang baik dan gak suudzon seperti di Jakarta. Jadilah kami nebeng pick up yang membawa sayur. Kepepet dan harus nebeng malah membuat perjalanan jadi lebih seru dan meberikan cerita buat dibagi dan dikenang. Disitu gue jadi benr-bener merasa ada di Indonesia yang mana masyarakatnya terkenal ringan tangan, suka menolong dan sangat ramah.


                Nebeng truk sayur, sayur organik

Sampai di stasiun Karangnayar Antok memberikan pengumuman yang membuat kita semua shock. Ternyata dia itu personil boyband. Eh bukan deh, ternyata dia memutuskan untuk tinggal lebih lama di rumah neneknya yang di atas bukit itu untuk menyelesaikan beberapa urusan pribadi. Gue dan Iwan tidak bisa mencegah dan hanya bisa memberikan pelukan hangat layaknya seorang sahabat. Antok hanya melambaikan tangan saat kami masuk ke dalam gerbong kereta menuju Jakarta. Saat itu terdengar bunyi pengumuman di pengeras suara dan bunyi perut gue bersahut-sahutan memberi tanda lapar. Tapi karena uang tinggal 10 ribu setelah membeli tiket kereta, maka gue urungkan niat membeli makanan. Tapi sekali lagi Tuhan menunjukkan kebaikannya. Tiba-tiba Iwan keluar dengan alasan mau kencing selama beberapa menit. Nggak lama Iwan kembali sambil membawa bungkusan plastik hitam yang berisi dua bungkus nasi lengkap dengan dua butir telur ayam yang disepuh agar nampak seperti telur asin bebek. Sampai sekarang gue masih suka ketawa geli mengingat kebodohan kami yang tertipu warna telur karena menyangka itu telur bebek hanya karena warnanya biru. Saat itu Iwan beralasan kalau dia bertemu teman lama yang kebetulan berjualan makanan di sekitar stasiun. Tapi sebenernya gue tahu dia berbohong dan mungkin merelakan duit simpanannya buat beli makanan sore itu. Sekali lagi gue menemukan pelajaran bahwa di dalam perjalan hidup, pertemanan yang erat terkadang lebih berharga dari apapun di dunia ini. Banyak hal baik yang bisa dilakukan seorang sahabat melampaui apa yang pernah kita bayangkan.


Ketika kereta bergerak pelan meninggalkan kota Karanganyar yang kini sudah gue masukan ke dalam memori-memori baik yang didapat selama hidup, pikiran gue masih tetap tertinggal di Dieng. Dieng dengan alamnya yang dingin namun tetap menyisakan kehangatan penduduknya yang kerap dibagikan kepada wisatawan yang berkunjung. Termasuk gue. Namun perjalanan menuju Dieng juga tidak kalah menarik. Banyak pengalaman dan hal baik yang bisa jadi pelajaran untuk gue setiba di Jakarta nanti. Saat itu pun gue sepakat bahwa kota tujuan akhir tidaklah lagi penting karena perjalanan yang berkesan dan tentu saja menyenangkan, itulah tujuan dari traveling yang sebenar-benarnya. Dan pada saat tulisan ini dibuat gue sudah lumayan banyak melakukan perjalanan ke tempat-tempat lain di Indonesia dan banyak mendapat pelajaran dari setiap langkahnya.




Nb : Pergi ke luar kota tanpa rencana dan itinerary sama sekali terkadang perlu dilakukan. Karena spontanitas dalam bertindak dan mengambil keputusan akan membuat kamu menjadi lebih peka, bijak, walau terkadang sedikit “nekad”. Tapi kamu nggak lupa kan?? Tuhan selalu bersama orang-orang nekad.





Reza Armando, Mei 2016

Kredit Foto : Hendra Flea