Rabu, 20 Juli 2016

Mie Rebus Cabe Gerus



Jakarta, kota yang penuh dengan perasaan “amsyong”. Apa sih itu perasaan amsyong?? Perasaan dimana kamu ngerasa apes seapes apesnya. 


Contoh. Misalnya suatu hari kamu dateng ke rumah kecengan. Abis mandi wangi. Pake baju baru beli. Nggak lupa bawa buah tangan khas pejuang-pejuang penakluk hati calon mertua, martabak telor. Dengan gagah berani kamu masuk sambil mengucap salam biar berkesan relijius. Sampe di depan ruang tamu tampak pemandangan ganjil. Iya ganjil. Maksudnya ada tiga orang duduk disitu. Mereka adalah kecengan kamu, mamanya, dan satu pria yang belum pernah kamu lihat sebelumnya. Wajahnya nggak tampan-tampan amat, tapi senyumnya bak Cristiano Ronaldo merebut Ballon d’ or. Senyum sang juara. Kamu bingung, merasa terjebak di situasi kikuk yang nggak diperkirakan sebelumnya. Biji mu sontak mengkeret, simbol nyali yang perlahan ciut setelah kamu menoleh kearah meja tamu. Disitu ada martabak. Iya martabak persis seperti yang kamu bawa.  Tapi disebelahnya ada kunci mobil. Persis, kunci mobil bikin sekotak martabak jadi lebih powerfull dan ganas. Sedangkan martabakmu, cuma cemilan sore bapak-bapak nganggur yang main catur di pos ronda.

“Hai..”, kecenganmu menyapa.

Kamu nggak kuasa buat bales, cuma senyum bingung sambil menunggu momen selanjutnya dan berharap kali ini bukan hari sialmu. Tentu saja boleh berharap, tapi sayangnya, kadang harapan dan kenyatan suka saling mengkhianati satu sama lain.

“masuk sini.., kenalin ini Bram pacar baru aku”.

JELEGEEEERRR!!! Tiba-tiba petir menyambar keras didalam kepalamu. Seketika kamu limbung, pandangan kabur, lama-lama menjadi hitam. Black out. Semua gelap. Kemudian kamu terbangun di klinik terdekat. Sahabat-sahabatmu berdiri mengelilingi. Kamu bingung dan sedikit lupa (lebih tepatnya coba melupakan) dengan apa yang terjadi. Kamu menatap sekeliling perlahan. Pupil matamu membesar menyesuaikan dengan cahaya pagi yang masuk dari sela-sela gordyn  klinik sampai tiba-tiba salah seorang sahabatmu nyeletuk.

“Ini udah perempuan ke dua puluh dua yang gagal lu deketin,
nggak minat sama laki aja???”



…………………………………



Nah, itulah yang saya maksud perasaan amsyong. Jakarta memang terlalu kejam untuk pria-pria berhati rapuh seperti saya. Kaya nggak bisa gitu sehari saja nggak ada peristiwa yang bikin kesel. Mulai dari macet, OB bikin mie instan hambar, didamprat atasan karena telat, klien marah-marah, laptop hang sampe yang paling mutakhir ya kejadian di atas itu tadi. Kecengan saya disikat lelaki yang lebih mapan. Tapi ya gimana, life must go on walaupun jalaninnya jungkir balik juga.

Tapi hari ini sedikit berbeda nih. Cuacanya. Tentu saja. Hari ini Jakarta adem dan sejuk bener. Cuaca gerimis London. Gerimis London itu adalah cuaca gerimis halus dengan langit mendung persis kaya suasana pada background film-film British yang saya tonton di dvd bajakan. Biar terlihat makin London hari ini saya pake vest rajutan yang kalo dipake hari biasa rada gerah. Tapi serius lho, hari ini Jakarta bersahabat banget. 

Seharian ini auranya menyenangkan. Lalu lintas yang biasanya macet, hari ini tetep macet. Cuma karena saya naik Uber gratis jadi biar macet tetep nggak ada beban. Sampe kantor juga ketemu atasan lagi pada senyum. Entah lah, mungkin mereka lagi giting. FYI aja, di beberapa kantor agensi periklanan, menghisap mariyuana bukan pelanggaran hukum, apalagi cuma melanggar aturan kantor. Jadi atasan yang senyum-senyum terus saya asumsikan aja lah ya kalo mereka lagi “high”. OB yang biasanya suka salah beli tiap pesen makanan juga entah kenapa hari ini jadi bener. Dan yang paling penting nggak ada klien ngomel-ngomel telepon ke kantor.

Maka dari itu saya bahagia sekali hari ini. Walaupun cuaca mendung, tetapi hati saya sih tetap cerah. Secerah langit di bulan Juli waktu saya masih SD dimana musim masih datang teratur di Indonesia. Belakangan alam pun ogah-ogahan dan semaunya aja. Persis kaya kelakuan orang Jakarta. Alhasil kita sering mendapati matahari telek bersinar di bulan Desember, dan hujan lebat segede-gede biji jagung di bulan Juli.

Sampai sore hari semua berjalan menyenangkan. Nggak ada kejadian yang bikin hati kesel. Sampe akhirnya tibalah waktu yang ditunggu-tunggu oleh seluruh kelas pekerja di Ibukota yang keras ini. Jam pulang kantor. Dengan gesit saya melesat menuju mesin absen, menempelkan jempol sambil senyum-senyum sendiri. Dari dalam kantor terlihat cuaca masih agak mendung. Gerimis halus masih terus menyiram tanah menciptakan aroma yang khas. Saya termasuk orang yang suka hujan. Terutama hujan duit, dan hujan airmata dari perempuan cantik yang menyenderkan kepalanya ke pundak saya saat nonton film “Habibi” di bioskop.

Hujan pula yang membawa memori saya kepada sebuah adegan film Indonesia tahun 80an yang dibintangi Herman Felani, Roy Marten atau Roma Irama, entahlah. Saat itu si aktor lelaki sedang pergi tamasya ke puncak dengan sang kekasih. Yang sepertinya diperankan dengan apik oleh Yati Octavia. Mereka sangat bahagia. Sampai ketika hendak pulang ke Jakarta, tiba-tiba hujan turun demikian derasnya. Tidak ingin kehujanan saat di jalan pulang, si aktor lalu membisikan kata-kata pamungkas kepada kekasihnya.

“Sayang, kita bermalam disini yah? Hujan deras sekali”.

Adegan selanjutnya mudah ditebak. Sebuah transisi untuk mengakali adegan mesum yang digambarkan oleh kilatan petir menggelagar. Setelah itu tampak set sebuah kamar dengan ranjang seprai putih berantakan. Di satu sisi tampak si pemeran wanita terisak sambil menutupi bagian atas tubuhnya dengan ujung selimut. Sang aktor bertelanjang dada dan berbulu berdiri di dekat jendela. Wajahnya penuh penyesalan.

“Mas, aku merasa berdosa!! Aku merasa kotor!!” si pemeran wanita berujar.
“Aa..aku akan bertanggung jawab. Jangan khawatir”.

Tidak lama terdengar suara pintu diketuk. Si aktor membuka pintu. Di depannya tampak lelaki paruh baya penjaga penginapan membawa nampan berisi makanan.

“Sayang, makan dulu, Aku sudah pesankan kamu mie rebus.
 Habis itu kita pulang”.

Si pemeran wanita tidak menjawab. Ia masih menangis tersedu. Suasana kikuk setelah keperawanan yang terenggut terlalu dingin untuk dihangatkan oleh semangkuk mie rebus.



………………………………



Berbicara tentang mie rebus, itu adalah salah satu makanan yang menjadi favorit saya. Favorit semua orang mungkin. Hujan dan mie rebus memang seperti dua sobat yang yang tak dapat dipisahkan. Saling melengkapi satu sama lain. Saat cuaca sedang mendung begini adalah momen yang tepat untuk mampir ke warung mie langganan di seberang kantor. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak langsung pulang hari ini. Gerimis halus turun membasahi vest rajutan yang berwarna biru muda. Warna kesukaan mantan saya terdahulu. Dan karena saya menghormati semua barang-barang pemberian mantan makanya hingga sekarang saya masih memakainya. Sebagian orang bilang saya belum “move on”, I already did actually. Buat saya ini cuma nostalgia sambil berharap mantan saya khilaf dan mau balikan lagi.

Dengan setengah berlari saya masuk kedalam warung mie yang tidak begitu besar. Belakangan trend mie instan dengan segala rupa olahannya tengah menjangkiti kawula muda di kota-kota besar termasuk Jakarta. Sebagai pelaku dunia kreatif yang sangat trendy saya pun ikut serta. Awalnya agak jengah juga ikut nongkrong di tempat yang dipenuhi oleh remaja-remaja usia sekolah yang kalau tertawa sengaja dikencangkan volumenya beberapa bar untuk mencuri-curi atensi pengunjung lain. Namun karena lokasi yang dekat dengan kantor dan kebetulan mie instan adalah makanan favorit dari zaman susah sampe senang, akhirnya saya pun tanpa sadar betah bolak-balik ke warung ini.

Sore ini tampak warung tidak terlalu penuh. Mungkin karena hujan. Anak-anak abg tanggung biasanya hanya punya fasilitas motor kredit pemberian orang tuanya yang mempertaruhkan nasib masuk neraka hanya karena membeli barang cicilan leasing yang mengandung riba demi buah hatinya. Mumpung kosong, segera saya mengambil lokasi duduk agak di pojok. Posisi menentukan prestasi. Itu prinsip yang sedari sekolah dulu saya pegang dengan teguh. Seteguh nasihat orang tua agar anak-anaknya tidak memakai narkoba dan berhubungan seks pra nikah. Dari pojok saya bisa mengamati dengan jelas beberapa pengunjung yang duduk ditengah dan siapa yang baru masuk ke dalam warung. Ini penting, sebab kamu tidak akan pernah tahu dimana, dan kapan kamu akan bertemu dengan lawan jenis yang mampu menjungkirbalikkan duniamu.

“Mang, pesen apa??”
Tiba-tiba suara pelayan membuyarkan konsentrasi saya yang fokus menatap keluar warung.

“Biasa, mie rebus cabe gerus”.

“Oke”.

Si pelayan hanya menjawab singkat dan kemudian berlalu. Hampir semua pelayan disini sudah faham dengan kebiasaan makan mie saya. Mie rebus dengan telur setengah matang plus cabai rawit yang diulek kasar sehingga menciptakan aroma pedas yang menantang selera. Terutama saat hujan begini. Saya pun lanjut membuka ponsel dan kemudian tenggelam dalam lini masa instagram para blogger wisata yang fotonya mampu bikin anak-anak tanggung naik gunung, turun ke laut dengan menempuh segala risiko yang menanti. Jujur, kadang saya juga iri dengan para blogger itu yang full time bertualang dan mendapatkan uang dari menjual tulisan dan foto-foto perjalanan mereka kepada portal berita ataupun website traveling yang kian marak belakangan.

Tapi apalah arti hidup dengan perasaan iri?? Bukannya Tuhan sudah menciptakan semua pada porsinya. Biarlah petualang mendapat kesempatan untuk bercinta dengan alam. Sementara saya, kamu dan sebagian bocah-bocah yang nggak kesampaian untuk berkelana keliling Indonesia mengkonsumsi alam hanya dalam bentuk citra  yang dipancarkan layar ponsel. Kami-kami inilah yang membuat dunia berjalan. Kaum pengkonsumsi apapun yang disajikan kaum kapitalis melalui “tangan-tangan” akun sosial media.

Sedetik kemudian pelayan mengahampiri membawa makanan pesanan. Dari jauh aroma cabe rawit gerus sudah tercium. Cacing-cacing di perut kompak bernyanyi minta jatah. Si pelayan dengan tingkat kesopanan yang agak dibuat-buat menyajikan mie rebus di atas meja. Belum saja masuk kerongkongan, keringat saya sudah menetes hanya dengan menatap semangkuk mie nangkring diatas meja. Adrenalin serasa berpacu saat akhirnya saya memasukan suapan pertama ke dalam mulut.

“NYOSSS!!!”.

Rasa pedas bercampur gurih dan panas dari mie menyeruak masuk ke dalam mulut. Sensasi dahsyat yang melenakan. Andai saya sudah menikah dan mertua minta angkatin jemuran saat hujan, saya tentu cuek dan lebih memilih makan mie instan. Apa boleh buat, rasa gurih hasil kolaborasi msg memang sangat membius. Suapan kedua pun akhirnya meluncur mulus. Ditemani dengan ulekan kasar cabe rawit dan potongan kuning telur setengah matang yang melted di dalam mulut.

“..,sempurna”

tanpa sadar saya ngomong sendiri mengomentari kelezatan mie instan.

“Hah?? Apanya??”

Tiba-tiba terdengar suara dari arah depan meja yang membuat kaget. Saya mendongak untuk memastikan. Sambil batuk karena keselek mie saya menatap sesosok perempuan yang berdiri sambil memeluk sebuah laptop dengan logo apel dimakan codot. Oke, artinya perempuan ini dari tadi memperhatikan saya makan di sini. Sambil mengumpulkan kepercayaan diri, saya kemudian berdehem untuk memberi kesan serius.

“Mie rebusnya, yang sempurna..” jawab saya mantap.

“Whatever..” si perempuan membalas singkat.

“Boleh nggak saya, duduk disini??” kata si perempuan lagi sambil memberi gesture sedikit memohon yang saya tangkap sebagai usaha flirting. Maklum, setahun lebih jomblo membuat reaksi saya terhadap tindakan lawan jenis menjadi lebih lincah dan sensitif. Tanpa ragu saya tersenyum dan memberi isyarat tangan bahwa dia boleh duduk berbagi meja dengan saya.

“Cuma di sini doang yang ada stop kontaknya. Saya butuh buat charge laptop…” si perempuan berkata sambil membuka laptop di depannya. Saya sih nggak gitu peduli dengan maksud dan tujuan lawan jenis ini disini. Peremuan secantik ini jangankan numpang duduk, nebeng pulang, atau minta pulsa pas di kantor polisi pun saya kasih. Mata saya kemudian asik menelusuri tiap detail dari wajah oriental perempuan di depan meja dan sejenak melupakan mie instan yang sebentar lagi menjadi dingin.

“Hei, ngeliatin apa?? Dimakan tuh mie nya!!”

“Hahaha, eggak. Nggak liatin apa-apa”. Kampret, kecolongan saya. Ketauan ternyata merhatiin wajahnya dari tadi. Malu juga. Kadung ketahuan, harga diri yang berserakan perlahan saya kumpulkan dan kemudian mencoba manuver lain.

“Kamu nggak pesen makan??”

“Oh iya. Mang, mie rebus satu. Cabe nya digerus yah!!”

FAAAAAAK!!! Saya yang sedang makan sampai menyembur kuah mie instan dari dalam mulut karena kaget. Ternyata perempuan cantik ini punya hobi yang sama. Makan mie rebus dan cabe gerus. Si perempuan menatap heran campur geli. Potongan mie dan sedikit kuah tertumpah di meja. Beruntung nggak sampai mengenai laptopnya yang mahal itu.

“Kenapa?? Makan sampe keselek gitu??” terlihat si perempuan panasaran.

“Enggak. Kirain cuma saya gitu yang suka mie rebus cabe gerus.”

“Oooh, itu. Hahahaha”

Perempuan di depan saya tertawa renyah sekali. Kedua matanya yang sipit sampai menutup menciptakan garis hitam tegas ditengah kulit wajahnya yang putih bersih. Pemandangan lumayan langka juga ini, saya membatin.

“Kamu suka mie rebus sama cabe digerus juga??” Tanya si perempuan dengan raut sangat ingin tahu. Mungkin dia sendiri juga nggak yakin ada orang lain yang suka dengan metode penyajian mie instan seperti itu.

“Suka. Pake Banget.” Jawab saya mantap karena meraba situasi yang spontan cair.

“Gokil. Kirain saya doang yang kaya gitu.
Semua temen saya bilang saya aneh.
Karena mereka biasanya kan kalo pesen mie pake rawit paling cuma diiris aja kan cabenya. Nggak nyangka juga ada orang yang kaya saya.
Hahahaha. Well maybe it’s my lucky day”.

“Yes. Maybe it’s mine too..”
Perempuan di depan saya ini benar-benar mempunyai pesona yang lengkap. Cara dan nada bicara, serta gesturnya mencerminkan ia adalah gambaran nyata dari perempuan modern yang tidak hanya cantik tapi juga cerdas. Padahal baru sebentar kami duduk bertukar sedikit obrolan dan informasi disini. Karena tertarik dengan obrolan soal mie rebus membuat saya melambatkan kecepatan makan agar nggak kelihatan laper banget.

“Sejak kapan suka makan mie cabenya digerus” ,tanya saya penasaran.

“Ehmm.., sejak kapan yah?? Kayanya sejak ngekos aja sih. Kan anak kos
sering makan mie instan tuh. Jadi ya segala macem metode udah saya coba.
Dan yang paling enak ya cabe digerus ini..”

“Seriusan?? Sama berarti. Tadinya saya suka pake saos. Tapi karena
banyak makan saos bisa bikin kanker, saya beralih ke cabe rawit.”

“Lho, bukannya makan mie instan juga bikin kanker??”

“Enggaklah, itukan akal-akalan Ikatan Dokter Indonesia aja.”.

“Ooh.. “.

Di tengah obrolan yang mulai asik, tiba-tiba datang lagi pelayan membawa pesanan mie rebus untuk perempuan oriental di depan saya ini. Dia tersenyum dan langsung menatap buas kearah mangkuk mie. Tanpa basa-basi suapan pertama meluncur dengan brutal.

“Eh kamu kenapa berhenti makannya??” si perempuan oriental tersadar karena saya berhenti makan dan malah mengamatinya.

“Nggak apa-apa. Seru aja liat kamu makan.”

“Kenapa emang??”

“Yaaa.., biasanya kan perempuan kalo makan itu jaing..”

“Hah.., apa??”

“Eh, jaim maksud saya..”

“Ow.., jaim”,

“Iya jaim.. kan perempuan selalu begitu.”

“Enggak sih. Saya nggak suka jaim. Buat apa??”,

“Yaa, supaya terlihat cantik aja..”

“Hahahaha.., cantik kan bukan dilihat dari cara makan.”

“Yaaa, at least harus manner lah gitu.”

“Manner?? So you’re talking about the way we behave
when we’re eating a fucking instant noodle in this
public space that full of irritating teenager??
I behave when I have to.”

“Hmm.. iya juga sih. Hehehehe” Skak mat. Salah saya sepertinya ngomong soal manner sama perempuan yang satu ini. Dia “lebih” dari yang saya kira. Saya nggak mampu menjawab lagi, cuma tersenyum kecut sambil membuang pandangan ke arah lain.

“Why?? What’s wrong?? Kamu pikir saya akan kikuk gitu karena kamu melihat cara makan saya yang mungkin nggak “cantik” buat sebagian orang.”

“Noo.. “ Padahal yes. Gila. Perempuan ini bisa membaca pikiran saya.

“Gini lho. Saya rasa Dian Sastrowardoyo pun kalo lagi
makan siomay di kantin kampus bareng teman-temannya
juga pasti nggak behave-behave amat kan ya??”

“Yaaa.., itu kan Dian Sastro. She’s a fucking exception” Jawab saya setengah berbisik sambil mendekatkan wajah saya kearah wajah si perempuan oriental. Kadar kepercayaan diri saya meningkat seketika.

“Why??”

“Yaa, hanya karena dia Dian Sastro. Dia boker aja masih tetap cantik.”

“HHAHAHAAHHAHA!!” Si perempuan oriental tertawa keras sekali. Terlihat beberapa remaja di sekitar kami memperhatikan. Mungkin mereka mengira kami orang-orang dewasa yang kurang piknik atau entahlah.

“You’re such a funny guy..” kata si perempuan oriental disela tawanya.

“And you are such a beautiful lady..”

Tanpa dikomando kata-kata bernuansa flirting meluncur begitu saja dari mulut. Apa boleh buat. Terlanjur keluar, saya pun berusaha tetap terlihat cool seolah kalimat barusan memang sudah direncanakan. Sekilas terlihat wajah si perempuan oriental merona merah. Entah karena tersipu atau kepedesan. Suasana sempat menjadi canggung beberapa detik. Mungkin dia benar-benar “memakan” umpan flirting barusan. Atau ini cuma perasaan GR saya doang. Entahlah. Tampak mie rebus di hadapan kami sudah dingin ditinggal ngobrol sekian menit.

“Eh, kamu ngantor deket sini??” tanya saya berusaha mencairkan suasana canggung.

“Nope.. “ jawab si perempuan singkat sambil memainkan rambut. Tampak ia masih berusaha terlihat biasa saja.

“So what brings you around??” Selidik saya.

“Nothing, I just walked by..”

“Emang suka iseng jalan-jalan gitu ya??”

“Yaa.., lumayan. Kebetulan hari ini ada perlu deket sini.
Sampe lebih cepet, ya sekalian muter-muter malah ketemu
tempat makan mie yang kayanya asik, jadi mampir.”.

“Haahaha, tetep ya. Karena mie.”,

“Iyalah.., mie itu emang guilty pleasure banget sih..”

“Yes, kind of. Selain lagu Hanson.”

“Ahahahahaha.., jangan bilang kamu suka Hanson juga??”

“Hahahah.., suka sih.. duluuu.. waktu SMP kayanya. Tapi kadang
sekarang kalo keputer di playlist masih nyanyi juga sih.. Hahaha”.

“Tapi harus diakui lagu Hanson itu emang enak kok.
At that moment, nggak mungkin nggak suka lagu mereka”.

“Good then, kita satu zaman berarti”.

Satu jam hampir berlalu dan kami mulai berbicara tentang apa saja yang menurut kami menarik. Tentang traveling, era-era kuliah, tentang kucing saya yang mampu boker di closet, tentang ketidaktertarikannya kepada agama tertentu dan tentunya tentang pekerjaan. Akhirnya saya tahu dia bekerja sebagai Account Executive di production house bilangan Kemang. Ternyata kami berasal dari latar belakang yang kurang lebih sama. Benar-benar kebetulan. Dan tampaknya kami mempunyai beberapa ketertarikan yang sama pada musik, film, buku dan seni rupa. Saya suka Quentin Tarantino, dia suka Danny Boyle. Saya suka “Catcher In The Rye”, dia suka “Ronggeng Dukuh Paruk”. Saya ngefans banget sama Placebo, dan ternyata dia huge fans-nya The Cure. 

Menyenangkan bisa banyak berbagi cerita tentang hal yang kita benar-benar suka tanpa ada paksaan untuk berpura-pura demi rasa nggak enak. Sejenak saya lupa akan nasib sial yang terus melanda beberapa waktu belakangan. Kehadiran si perempuan oriental ini seperti mizone sehabis jogging. Bikin seger. Saya merasa seperti menemukan partner in crime yang telah lama berpisah. Saya suka caranya memandang suatu persoalan. Caranya memandang dunia. Unik sekali. Ada satu kalimat yang terlontar begitu saja dari mulutnya saat suasana tiba-tiba hening untuk kesekian kalinya.

“Pernah tau nggak kalo kehidupan ini ternyata cuma sebuah
ruang tunggu yang sangat-sangat besar..”

Saya nggak menjawab, cuma memberi gestur dengan menggeleng.

“Kita semua ini sejatinya cuma menunggu.
Menunggu waktu bersinar,
menunggu saat tenggelam.
Menunggu sebuah perjumpaan,
sekaligus menunggu waktu berpisah.”,

“Menunggu pesanan mie rebus cabe gerus… “ saya menyahut asal.

“Hahaha, iya itu juga termasuk.

Hening beberapa saat sampai akhirnya dia meneruskan.

“Tapi yang paling saya nggak suka itu.., menunggu kesempatan kedua.
Ketika dengan sadar saya telah membuang yang pertama.
The fact is, I hate waiting.”.

“Maksudnya???”

Belum sempat pertayaan saya terjawab, tiba-tiba muncul seorang lelaki dengan perawakan cukup besar dan langsung menghampiri tempat kami duduk. Si perempuan oriental agak kaget dan langsung menyapa lelaki yang baru saja muncul.


“Hai, where have you been?? I’m waiting here.”
“Sorry, tadi macet banget. Biasalah jam pulang kerja.
Anyway kamu sudah bayar makanannya??”

Si lelaki berperawakan besar langsung berjalan menuju kasir yang langsung disusul oleh perempuan oriental. Mereka berbincang-bincang dan tampak sangat akrab. Sementara saya sibuk merogoh celana jins skinny yang menjadi lebih sempit dua kali lipat pada saat kita butuh sesuatu dari dalam kantong dan diburu waktu. 

Akhirnya saya menemukan sebuah bon minimarket bekas beli celana dalam saat traveling ke Batukaras dan lupa packing. Langsung saya rebut bolpen dari meja sebelah tanpa izin. Bolpen itu milik sepasang kekasih yang dari tadi membahas soal ujian Akuntansi yang dari dulu nggak pernah saya mengerti. Mereka kaget, tapi sama sekali nggak bersuara. Selesai menulis saya langsung melempar alat tulis itu ke meja mereka. Pasangan itu tetap membisu. Mungkin mereka prihatin melihat kegalauan saya yang terlihat jelas.

Akhirnya si perempuan oriental kembali dengan raut wajah terburu-buru dan langsung membereskan laptop apel dimakan codot-nya itu. Saya cuma memperhatikan dengan santai. Berusaha untuk tidak terlihat sama gusarnya dengan perempuan yang berdiri di hadapan saya ini.

“Eh, Sorry, saya buru-buru karena sudah dijemput.” Kata si perempuan oriental dengan sedikit kikuk. Sementara lelaki berperawakan besar sudah menunggu di dekat pintu keluar sambil melihat ke arah arlojinya.

“It’s nice to have a great conversation with you” katanya lagi.

Saya hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalas satu patah kata pun. Si perempuan oriental berjalan ke pintu keluar dan akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan mata. Sebuah perjumpaan yang menarik dan sungguh tidak diduga. Benar, hari ini adalah hari keberuntungan saya. Entah besok. Dengan langkah gontai saya pun menuju kasir, membayar semangkuk mie rebus cabe gerus yang paling “mewah” yang pernah saya nikmati. Untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir kali.



……………………………..




Dalam perjalanan pulang saya hanya bisa mengutuk waktu. Mengutuk sebuah kesempatan yang terbuang percuma. Menyesali sebuah pertemuan dan merenungi perpisahan.

“Hei, kok cincin tunangan kita nggak dipake sih??”
“Kamu nggak boleh dong sembarangan lepas cincin tunanganya.
Itu kan tanda bahwa kita sudah ada ikatan,
Jadi kamu harusnya nggak boleh lagi…bla..blaa..bla..blaaa..”

“Hey, hey..kamu dengerin nggak sih??”

“Iya aku denger lah. Tadi habis dari kamar mandi, jadi aku lepas.”
Saya menjawab spontan dan cenderung asal. Toh dia juga nggak pernah bisa dan nggak akan pernah bisa membedakan. Karena bosan menghadapi kemacetan dan khotbah yang terus berulang, saya membuka laptop dengan maksud meneruskan pekerjaan. Terlihat ada yang janggal disana. Sebuah kertas bon terselip diatara lipatan laptop. Saya melirik ke arah dia. Dia masih menyetir, menyetir, menyetir dan menyetir. Menyetir hidup saya lebih tepatnya. Saya ambil kertas tersebut. Di situ tertulis sebuah kalimat dengan tinta agak terputus. Mungkin alat tulisnya macet. Atau si penulis juga ternyata ragu dengan apa yang dia sendiri tulis.


“Harusnya kita bertemu dua atau tiga tahun lalu.

Tapi nggak apa-apa. Mungkin di waktu lain. Di kehidupan lain.

Cara berpikirmu itu yang saya suka. Saya sih YESS!!

Nggak tahu, kalo Mas Anang???”.


FAAAAKKK!!! Hahahhaahahaha. Lelaki mie rebus cabe gerus.
Saya bahkan belum sempat bertanya siapa namanya.














Senin, 18 Juli 2016

10 Alasan Kenapa Kamu Nggak Perlu Main Pokemon Go



Beberapa hari ini dunia (maya) kita dihebohkan oleh beberapa kejadian yang sebenarnya sih nggak heboh-heboh amat, tapi diberitakan oleh dunia (maya) dalam berita secara bombastis dan agak nganu. Kenapa nganu?? Ya sebab memang akhir-akhir ini banyak berita yang kontennya nganu. Saya pun pusing setiap hari melihat ratusan bahkan ribuan berita nggak penting dan nggak ngefek ke kehidupan sehari-hari saya diposting di berbagai patform media (sosial). Mungkin memang saya yang kurang gaul atau mereka yang kurang pintar ya saya juga kurang faham.

Dua berita paling spektapeler (ya saya nulis ini PELER, nggak typo) yang sedang hangat menghiasi layar kaca (henfon kita) adalah berita kudeta yang gagal di Turki. Dan yang satu lagi adalah tentang game –yang nggak seru-seru amat tapi jadi hits hanya kerena sembari maen bisa sambil skrinsyut buat di path- bergenre kejar daku kau kutangkap dengan tajuk Pokemon Go.

Berita nomer satu. Kudeta di Turki. Langsung aja yah. Who the fuck are they?? What the fuck they’ve done??? What the hell is happened?? Where the hell is Turkey on Google Map?? Where is the fucking correlation about the coup and my life?? Do I give a single fuck?? Hell NO!! Sepanjang timnas Turki masih masuk Euro bahkan World Cup, ya artinya mereka live a happy life lah dibanding masyarakat sepakbola kita yang alih-alih ikut piala Jules Rimet malah jadi njelimet campur politik sampe di banned segala. Sisanya saya otomatis nggak peduli karena itu urusan dapur politik negara mereka.

Berita kedua yang nggak kalah spektapeler ialah kehadiran game Pokemon Go yang lagi-lagi sampe detik ini nggak menarik buat saya (nggak tahu besok). Dimana-mana tampak orang memainkan game yang dulunya nggak digemari ini. Seinget saya sih, dulu gamer-gamer yang main pokemon itu cuma game-geek yang mukanya culun-culun kaya anak-anak Tionghoa yang terisolasi karena nggak ditemenin. Lha memang begitu kenyataannya. Dimana kerennya game ngumpulin monster yang lebih mirip gambar graffiti tembok PAUD??? Dimana hah?? Saya memang gamer. Tapi dari kasta gamer keren, terpelajar nan gaul. Game yang saya mainin itu Metal Gear Solid, PES, Silent Hill dan Resident Evil. Pokemon ya itu tadi, mainan bocah sama gamer-gamer geek yang culun. Nggak ada macho-machonya lah. Makanya sekarang saya kaget juga melihat animo masyarakat dunia (maya) yang seperti terbius oleh kehadiran Pikachu lewat teknologi AR ini.

Usut punya usut sih, yang kemudian digabungkan dengan asumsi dan penelitian kecil-kecilan saya terhadap game atau aplikasi sejenis yang juga booming, saya menemukan satu kesimpulan yang terlihat masuk akal sejauh ini. Ternyata apapun yang dikemas dengan balutan teknologi terkini plus sedikit ramuan eksistensi akan laris dipasaran. Meskipun kadang konten dari aplikasi atau game-nya sendiri, ya biasa saja. Tapi jika aplikasi atau game tersebut mampu mendongkrak eksistensi dan sukur-sukur melompat kelas sosial, niscaya bakal laris manis seperti donat J-co waktu baru muncul di Depok. Kalau dahulu kala kita mengenal ada foursquare dimana pengguna bisa cek in sana-sini yang berakibat pada kesan “beredar” yang ditimbulkan. Beberapa tahun kemudian muncul Path yang menyempurnakan fitur cek in, foto kekinian dan tag beberapa kawan sekaligus (sekarang malah hadir fitur path daily, dimana curhatanmu dipasangin foto-foto yang kadang nggak nyambung). Ramuan sempurna. Untuk orang Indonesia yang sebagian masa dewasanya dihabiskan untuk pamer. Sampai ada istilah kalimat dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan kenaifan serta hiprokisi ala bangsa Indonesia.

“You buy things you don’t need, with money you don’t have, to impress people you don’t like”. Yang artinya orang Indonesia riya, lagi munafikun.

Ooow, tapi tenang. Selalu ada secercah harapan dalam sebuah kebusukan. Selalu ada terang sehabis malam. Selalu ada acar timun ditengah nasi kebuli full kolesterol. Anomali dalam suatu hal pasti ada. Contohnya saya. Dulu waktu orang berbondong-bondong pake Blackberry saya pake Samsung. Saat orang ramai-ramai migrasi ke android saya baru beli Blackberry. Dan saat orang beli Samsung, saya milih Nokia. Persis saat orang gandrung main pokemon, saya malah baru main tetris nih.

Oke. Tampaknya sih bukan cuma saya saja yang nggak terlalu peduli dengan trend Pokemon Go ini. Ada beberapa orang yang saya kenal juga mengungkapkan alasan-alasan kenapa mereka nggak ikutan trend bermain game yang asalnya dari Jepang itu. Karena saya baik hati, saya rangkumin aja deh sekalian alasannya. Silahkan disimak dengan seksama. 10Alasan kenapa kamu nggak perlu main Pokemon Go.


Alasan pertama. Pokemon menyita waktu produktif.
Ini alasan yang memang paling masuk akal. Entah kamu memang nganggur atau kamu angota MLM dengan pangkat Diamond Manager, sehingga kamu nggak perlu mengejar uang. Karena uang yang biasanya mengejar kamu. Maka dari itu kamu butuh sesuatu yang dikejar selain uang. Ketika Pokemon Go muncul, -walaupun masih edisi bajakan- itulah yang kamu jadikan subtitusi sebagai objek fetismu yang wajib dikejar.

Alasan kedua. Pokemon game alay.
Believe me or not, ada temen saya yang nggak maen Pokemon Go simply karena dia merasa itu adalah game alay. Setelah dipikir masak-masak ada benarnya juga. Alay itu cenderung mengerubuti trend. Seperti laler merubung tai.  Jangan Pokemon Go yang cuma aplikasi, agama aja sekarang ada alaynya. Saya menyebut mereka “alay reliji” atau bahasa inggrisnya “ religion hipster”. Eh ada nggak sih istilah religion hipster?? Hahahahaha. Ya pokoknya gitu lah, sekelompok orang yang saling hina atas nama agama terus hobinya nggak siang nggak malem, nggak musim kampanye, nggak musim salak, kerjanya bandingin agama dan ujung-ujungnya jadi buzzer gratis oleh Partai berlandaskan agama.


Alasan ketiga. Pokemon bikin kamu ketergantungan gadget.
Ini alasan sepupu saya. Umurnya baru 21 tahun. Seumur dengan alay-alay nomer dua diatas. Tapi dengan dewasa dan kebapakan dia mengungkapkan alasannya ke saya bahwa Pokemon Go hanya membuat kita ketergantungan pada ponsel dan menjadi individualis. Kalau ada pria dewasa umur 35 tahun yang ngejar Pokemon sampe ke Monas merasa tertampar dengan statement sepupu saya barusan ya maaf saja. Karena saya rasa sepupu saya benar dalam hal ini. Kecanduan narkotik, ganja, minuman keras, seks, dan perempuan itu masih masuk akal buat saya. Rock n Roll sekali. Sangat macho. Kecanduan Pokemon??? Halooo?? Waktu SMA kamu ngapain?? Bikin PR sambil nonton NICKELODEON????

Alasan keempat. Setia dengan game yang lebih dulu eksis.
Nah ini alasan yang disampaikan oleh orang yang juga kebetulan suka main game melalui gadget. Ibarat pasangan, orang yang kaya gini nggak gampang bosen dan cenderung setia. Tipe yang begini nggak gampang ganti kesukaan walaupun trend sedang melanda. Katanya dia terlampau sayang dengan game yang sudah dimainkan jauh sebelum Pokemon Go hadir. Cerminan orang yang males mulai hal baru kalau sudah nyaman dengan yang lama. Nah tipe gamer yang ini cocok dijadiin partner ronda tengah malem. Sama COC aja dia nggak bosen, apalagi sama kamu.

Alasan kelima. Pokemon mengandung sejumlah konspirasi dan mungkin minyak babi.
 Ini mungkin termasuk alasan yang agak absurd dibanding yang lain. Tapi percayalah, ada sekelompok orang di belahan bumi lain yang meyakini ini adalah kebenaran yang hakiki. Dikatakan Pokemon adalah sebuah frasa dari bahasa Yahudi, Syria atau Madura saya pribadi nggak terlalu paham. Arti Pokemon konon berlawanan dengan iman kita selaku Muslim. Yang saya tahu sih Pokemon nggak mengandung babi, atau ada jangan-jangan monster babi???

Alasan keenam. Main Pokemon bikin gadget tambah lemot dan boros baterai.
Ini sih bukan cuma karena main Pokemon Go. Stalking Instagram mantan pacar juga bikin baterai dan paket internet kamu habis. Tapi okelah, alasan ini masih boleh diterima karena kenyataannya memang demikian. Terutama buat kamu-kamu yang bukan penggiat teknologi  yang selalu update dengan gawai keluaran terbaru. Kasian kan Samsung Galaxy Young kamu dibuat main Pokemon Go. BTW, Pokemon Go bisa nggak sih install di Galaxy Young??

Alasan ketujuh. Mencari Pokemon bikin kamu lupa mencari jodoh.
Ini adalah alasan yang sangat esensi dikala umur kamu 32 tahun dan masih sendiri. Bermain Pokemon hanya membuat kamu delusi semakin akut bahwa kamu nyaman dengan kalimat bernuansa naïf  semisal “sendiri lebih baik”. Apalah arti monster berbagai jenis bersemayam di dalam gadget-mu, sementara hatimu sepi, kosong, hampa, berdebu dan bersarang laba-laba. Kapan terakhir kamu kencan dengan lawan jenis?? Kapan terakhir kamu tangkep jenis pokemon langka?? Silahkan direnungkan dua pertanyaan diatas. Mana yang lebih dirasa penting.

Alasan kedelapan. Pokemon (sejauh ini) nggak ngasilin duit.
Berbeda dengan game-game dari platform PC semisal Poker online, Ragnarok, Point Blank yang nyata dikompetisikan dengan hadiah yang lumayan bikin bergidik, Pokemon Go belum ada tanda kesitu. Walaupun nggak menutup kemungkinan jika suatu hari game ini ditunggangi kepentingan-kepentingan bisnis yang membuat pemainnya bisa menjadi gamer professional. Tapi mengingat teknologi gadget mudah berganti seperti kulit bunglon, rasa-rasanya sulit membuat game ini bertahan lama. Ingat, 80 persen player di Pokemon Go adalah orang-orang yang jelas bukan die hard fans serial Pokemon. Bahkan bukan penggemar game. Ramalan saya sih, Pokemon Go ini mirip seperti kasus dua pemeran “Bandung Lautan Asmara”. Sempat booming lalu hilang entah kemana rimbanya.

Alasan kesembilan. Kamu bukan gamer, bukan pula hipster.
Ini sudah jelas. Diantara gelombang kebodohan yang selalu ditiupkan oleh agen-agen propaganda medsos, kamu tetap berdiri tegak dengan pendirianmu. Ciri karakter seperti ini adalah tidak suka share berita nggak jelas. Tidak berpihak kepada sisi yang bertikai, bahkan tidak ikut pemilu. Buat orang seperti ini, trend (baik berupa game, arah haluan politik ataupun gaya hidup) cuma angin lewat yang nggak perlu dipedulikan. Fokus dengan tujuan, persetan dengan trend dan urusan orang. Salut.

Alasan kesepuluh. Pokemon is not your cup of tea.
We all love tea, don’t we?? But we’re not taking every single tea that serves. You might like that tea but you think of something smarter so you leave the cup cold. What world brings to you isn’t enough if you always spill your drink at dinner. Go find the cup of yours. Never waste your time at mine, or his, her, them, and everyone else. You’re not what they wanted you to be. You are something else. You’re fucking original. Do I make myself clear???


Nah, kira-kira begitulah alasan yang bisa saya rangkum dari perbincangan singkat dengan orang-orang yang tidak merasa penting untuk ikut meramaikan “demam” Pokemon Go. Kembali lagi kepada individu merdeka yang berhak menentukan apa yang baik dan buruk buat mereka. Tapi saya punya keyakinan kecil bahwa setelah tulisan ini terbaca tuntas mungkin kamu akan berpikir dan bertanya dalam hati.

“Saya yang main Pokemon?? Atau Pokemon yang mempermainkan saya??”.