Minggu, 02 Oktober 2016

Kata Siapa Aw Karin Merusak Moral Anak Bangsa??

Kata siapa Aw Karin merusak moral anak bangsa??


Iya saya tanya beneran, dari segi mana Aw Karin merusaknya??

Tunggu dulu, sebelum kita sama-sama menjawab pertanyaan diatas, perlu saya sampaikan disini bahwa saya seratus persen bukan Kariners, Sahabat Karin, Karin Holic atau apalah nama penggemarnya tersebut. Saya nggak dibayar sepeserpun untuk bikin tulisan ini. Saya juga bukan antek Yahudi yang diutus CIA untuk kolaborasi dengan remaja-remaja mental jeblok bangsa Indonesia dalam rangka mendegradasi moral para kawula muda. Saya cuma mengajak kamu, kalian semua untuk berani melihat suatu masalah dari sisi yang lain, beda dan mungkin terabaikan sebelumnya. Karena seperti yang dikatakan oleh filusuf kontemporer Nigeria, Nwankwo Kanu “Orang yang paling bodo ialah orang yang hanya punya satu sudut pandang”. Hal tersebut juga diamini oleh pakar ilmu sosial asal negeri kincir angin, Prof. Dr. Weisley Sjeneider yang berteori bahwa ketololan paripurna seringkali diakibatkan oleh pengkultusan satu sudut pandang yang menjadi dogma dalam menjalani kehidupan. Jadi sekali lagi saya menegaskan bahwa saya sungguh-sungguh netral dalam masalah fenomena media sosial yang pelir, eh pelik ini.

Seperti saya singgung diatas, saya tidak pernah berniat menjadikan kasus Aw Karin yang menjadi sorotan publik dunia maya ini menjadi sebuah tulisan. Entah saya yang kuper atau sering kehabisan paket internet, saya termasuk yang rada telat menyadari sepak terjang remaja yang dadanya nggak begitu besar itu. Dikabarkan Aw Karin sering mengunggah video asyik masyuk penuh mahligai cinta bersama si pacar (yang sekarang sudah jadi mantan), sehingga dikhawatirkan adik-adik follower dan subscriber dari Karin menjadi terinspirasi untuk ikutan berdada kecil namun seringkali tampak pongah.

Remaja putri ini juga diberitakan sering mengumpat kata-kata yang tidak pantas untuk diucapkan di dalam rumah ibadah, walaupun sebenarnya Karin melakukannya di tempat yang biasa aja sih sebenernya buat teriak-teriak “ANJING!!” sampe kerongkongannya keset. Intinya semua perilaku itu hanya sebatas berita dan video unggahan di dunia maya, secara nggak ada satupun pihak yang merasa terganggu dengan postingan Karin yang pernah mengenalnya di dunia nyata.

Sayapun akhirnya pertama kali melihat video Aw Karin beberapa hari yang lalu ketika seorang teman memperlihatkan sebuah video klip dengan konsep dan editing yang “elek blas” di situs Youtube. Dalam video itu terlihat seorang pria diju’ung masa remaja berkeluh kesah soal kemunafikan lingkungan sosial lewat musik rap. Di bagian refrain lagu, munculah sosok remaja putri yang tampak sangat Agnes Monica wannabe -lengkap dengan seragam zumba dan baju jaring- melantunkan bait demi bait keresahan jiwanya kala dijustifikasi sebagai orang tak bermoral oleh sebagian orang yang sangat mungkin tidak bermoral juga. Gadis (seandainya masih..) itu bernama Karina Novilda a.k.a Aw Karin yang femes itu.

Saya suka musik rap dan hiphop, tapi sayangnya saya nggak suka Young Lex dan juga Aw Karin. Alhasil baru satu menit video diputar saya kontan embung menonton sampai habis. Setelah itu saya benar-benar lupa akan eksistensi Karin yang konon (jangan dibalik) merusak moral anak bangsa itu. Sampai hari Sabtu siang pacar saya bertandang ke rumah. Seperti biasa kami membahas dan berbicara hal-hal intelek seperi suku bunga IHSG, Tax Amnesty dan perseteruan antara Kiswinar dan striker Juventus Mario Mandzukic. Disela-sela perbincangan tiba-tiba pacar saya menceritakan sebuah kabar dukacita. Salah seorang temannya dikabarkan telah meninggal dunia. Yang membuat bergidik adalah penyebab perempuan malang itu berpulang. Ia meninggal sehari setelah melakukan aborsi yang keempat. Empat kali melakukan aborsi, dan yang terakhir ini berakibat sangat fatal. Saya termenung. Sekilas terlintas wajah Aw Karin saat meliuk-meliuk mengikuti irama musik rap yang kurang enak. “Kalian suci..aku penuh dosa..” kira-kira begitu salah satu penggalan liriknya.

Saya langsung tersadar dan menyesali betapa rusaknya pergaulan masyarakat terutama remaja sekarang. 4 kali aborsi. 4 calon bayi harus gagal melihat bumi Indonesia yang begitu indah ini. Perkara aborsi bukan barang baru bagi saya. Tiga teman saya melakukan hal itu. Satu diantaranya melakukannya hingga tiga kali. Mengingat hal itu saya lantas bergidik ngeri. Namun tiba-tiba saya mendengar ada yang melakukan aborsi ilegal sebanyak 4 kali dan kemudian harus meregang nyawa. Ini benar-benar sudah melewati batas. Seketika kasus Aw Karin yang cuma ngomong jorok dan skip kuliah kedokteran menjadi seperti upil kering diatas tower Indosat yang sinyalnya nggak bagus-bagus amat.

Saya kemudian berpikir. Apa benar Aw Karin merusak moral anak muda?? Atau Karin hanya hadir sekedar menjadi bagian pelengkap, pemanis dari sebuah puzzle yang sangat besar namun kita semua lalai melihatnya. Kita semua mafhum jika urusan lalai memang spesialisasi bangsa besar ini. Banyak peristiwa lalai yang berujung bencana terjadi disini. Sekian juta orang dibantai dalam kurun waktu beberapa bulan saja di tahun 1965 seraya mengiringi seorang jendral korup nan murah senyum naik tahta.  Masyarakat lantas lalai berjamaah karena hanya berfokus pada para Jendral yang diceburin ke sumur di Lubang Buaya. 40 tahun kemudian, alarm peringatan Tsunami di pinggir pantai Banda Aceh rusak sejak bertahun-tahun yang lalu dan dinas terkait berkelit seribu bahasa. Mereka lalai memperbaiki alat tersebut. Alhasil 120 ribu jiwa tersapu gelombang laut, sehari setelah Natal dan hanya menyisakan kota yang porak poranda. Terbukti sudah. Lalai memang salah satu bakat alamiah bangsa ini, selain munafik tentunya.

Lantas dimana hubungannya Aw Karin dengan sikap lalai masyarakat Indonesia?? Ya itu tadi. Selain lalai dan munafik, bangsa Indonesia dianugerahi sifat “overwhelm” yang sangat akut. Jangankan tayangan perempuan oriental mengemut batang kemaluan pria yang ditayangkan ilegal di video tron Jakarta Selatan kemarin, bapak-bapak terjatuh dari motor saja bisa jadi pertunjukan menarik yang mengundang masa, menghadirkan kemacetan dan menjadi distraksi. Inilah kata kunci penghubungnya. Distraksi.

 Histeria unggahan Karin di media sosial viral dan tak terbendung hingga KPAI pun turun tangan ikut gatal memberesi moral bocah ingusan yang ukuran dadanya nggak sebesar egonya itu. Sambil disaat yang bersamaan belasan serial dan FTV norak bernuansa pembodohan bebas berkeliaran di layar kaca tanah air, ditonton oleh remaja-remaja pinggiran kota yang lugu mengarah ke dungu. Memang di Indonesia bodoh selevel lebih dimaklumi daripada berpakaian serampangan misalnya. Di negeri ini tentunya penguasa akan merasa lebih terancam dengan satu orang cerdas dengan baju terbuka dan tattoo-an (saya nggak bermaksud bilang bahwa Karin cerdas)  ketimbang  puluhan orang sopan santun, penurut, walaupun IQ-nya agak anu. Disinilah distraksi bekerja, menyamarkan, bahkan membentuk propaganda. Jika yang “rebel” dan yang santun sama-sama bisa dibodohi?? Mengapa tidak?? Ini seperti pepatah “Sekali dayung, dua tiga pulau direklamasi”. Buat Karin dan generasinya, buku adalah artefak. Youtube, instagram adalah #LifeGoals. Selamat!! Dunia kita (maya dan nyata) goncang, terusik oleh kehadiran bintang orbitan oleh pihak yang berkepentingan.


Padahal jika kita berani menelanjangi diri seraya melepas atribut religi yang kadang menjadi batas bias antara haram dan suci, mungkin kita bisa lebih jelas lagi melihat inti dari persoalan ini. Karin dan segala kelakuan dalam unggahannya bukanlah barang baru. Bukan aib baru. Bukan dosa baru. Karin bukan manusia pertama di Indonesia yang mengumpat “anjing”, “bangsyat”, “peler”, atau “ngentot” atau apalah itu namanya. Sebagian dari kita pernah mengucapkannya walaupun penuh malu dan diiringi rasa bersalah setelahnya. Sebagian lagi mungkin hanya mendengarnya sebagai ocehan tabu yang menjadi gaul ketika frasa laknat itu diplesetkan menjadi “njir”, “njrit”, “ler”, “konty”, “meki”, “ngentiaw”, “ewi”, “jembrewi” dan sebagainya.

Pun dengan perilaku Karin yang mengarah kepada kegiatan pacaran indehoy  menjurus ke adegan vulgar. Entah sejak tahun berapa praktik sex bebas, prostitusi remaja, aborsi dan kegiatan yang berkaitan dengan esek-esek gandrung di kalangan muda-mudi kota besar Indonesia. Karin bukanlah iblis yang diutus untuk mengupdate dosa lama menjadi dosa baru yang lebih mutakhir dalam ritual membangkang perintah Tuhan. Siapa sih yang nggak pernah berfantasi tentang mencium gadis atau jejaka idaman di belakang kelas sambil kemudian menggerayangi pangkal pahanya. Perkara mewujudkan fantasi itu menjadi nyata adalah hal lain. Itu soal keberanian dan mengambil keputusan. Dan walapun keputusan itu adalah hal yang salah dan buruk dipandang masyarakat, tetap saja bukan yang pertama dan terakhir. Jika nabi Adam dahulu benar mengambil keputusan untuk tidak memakan buah kuldi, tentunya Christiano Ronaldo tidak akan pernah mengangkat Euro Cup dan bahkan tidak pernah tercipta.

Satu-satunya kesalahan Aw Karin mungkin hanya karena remaja malang itu hidup dan besar di era teknologi informasi dikala kita semua masih gagap menyikapinya. Ribuan informasi nggak penting berseliweran di lini masa menguji saringan intelejensi otak kita. Teknologi memangkas banyak hal yang tak mampu kita maknai dengan arif dan bijak. Celah menganga itu yang kemudian diendus oleh hidung-hidung kapitalis kakap maupun enterpreneur bau kencur tapi oportunis yang baru masuk gelanggang. Sebagai contoh : Ketika remaja adalah usia dimana mereka mencari jati diri, pihak yang berkepentingan lantas menghadirkan dua sosok yang mewakili dua kutub yang berbeda, namun tetap satu tujuan. Monetisasi, a.k.a Ujung Ujungnya Duit yang akrab dikenal sebagai UUD.

Di sudut merah, berdiri beringas, marah dan tak terkendali. Aw Karin. Dengan terjangan bak banteng terluka Karin masuk arena mengacak-acak norma. Raungannya keras, memekakkan telinga orang tua yang memiliki remaja putri seusianya.  Karin resah dan meninju balik stigma negatif dengan karyanya yang biasa aja. Kegarangannya berakhir pada endorsement produk-produk jam gaul hippies, casing smartphone anti mainstream, dan apparel bernuansa rebel. Jutaan followernya berbondong-bondong mengikuti gaya mix n match pop culture dan pemberontakan dari Karin yang sangat kekinian. Untuk skala yang lebih massive, Karin diproyeksikan menjadi kandidat pengganti Lady Gaga, kena narkoba, dan positif HIV AIDS untuk kemudian menularkannya kepada seperempat penduduk bumi. Nasa dan CIA lantas menemukan serum dan menjual obat penawarnya di gerai Indomaret.

Di sudut biru, meriah namun sopan dan murah senyum. Ria Ricis. Tampil Syar’i dengan gamis-gamis trendy masa kini, Ricis meruntuhkan pertahanan jomblo-jomblo yang merindukan kekasih solehah. Dengan selera humornya yang ngepas, Ricis tetap semangat membagikan postingan yang dia pikir lucu dan menghibur. Tujuannya jelas, menciptakan Indonesia yang santun, relijius namun tetap kekinian. Warna-warni postingan Ricis bermuara pada iklan busana wanita, aneka riasan wajah dengan label halal dan endorsement seblak instan rasa nasi kebuli. Jutaan fans fanatiknya kemudian meniru kesantunan dan kemeriahan Ricis untuk mendapat status “istri solehah idaman laki ganteng  mirip Erdogan”. Untuk jangka panjangnya Ricis akan diduetkan dengan Tae Min dari grup K-Pop Shine menyanyikan lagu reliji “Ta’aruf di Pyongyang”. Karuan, single tersebut meng-grab dua basis fans sekaligus. Fans Ricis yang solid dan tentunya K-Popers yang militan. Jutaan abg seluruh dunia menyerbu gerai Alfamaret berburu CD terbaru Ricis feat Taemin.


Dan masih saja kita lalai melihat fakta-fakta tersebut. Kita lebih asik mengutak-utik motif personal dari Karin yang dikisahkan dahulu mempunyai segudang prestasi. Ya, katakanlah Karin adalah korban dari sebuah sistem kejam yang melatarbelakangi perilaku amoralnya. Karin adalah azab yang menampar keras pipi orang tua seluruh Indonesia. Karin muncul sebagai penanda bahwa sekarang kita telah memasuki era dimana dosa bukan waktunya lagi disimpan rapat dalam lemari sambil sesekali ditengok ketika rindu. Dosa adalah aku, dosa adalah kita.

Lalu sekarang coba jawab, bagian moral mana yang dirusak oleh Karin?? Karena kita semua berdiri diatas kerusakan yang sama. Yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Tanah dimana kita mengais nafkah adalah tanah yang malu-malu memaklumi pelacuran selama menyokong perekonomian keluarga, kota dan bahkan negara. Tanah tempat kita tinggal adalah tanah dimana seorang nenek pencuri ranting dihukum sama beratnya dengan koruptor miliaran rupiah. Seribu Karin pun tidak akan sanggup menutupi kenyataan buruk dan kerusakan moral yang ada di depan mata. Tapi sudah lah tak usah dijawab, kalian memang suci, aku penuh dosa.





Ps : Tulisan ini dibuat sebagai distraksi dari isyu gencar seputar Pilgub DKI 2017. Dikabarkan salah satu Cagub makan nasi Padang lauk cincang pake tangan kiri. Katanya sih kurang reliji, nggak sopan, tangan kiri kan tangan cebok.