Senin, 18 Juli 2016

10 Alasan Kenapa Kamu Nggak Perlu Main Pokemon Go



Beberapa hari ini dunia (maya) kita dihebohkan oleh beberapa kejadian yang sebenarnya sih nggak heboh-heboh amat, tapi diberitakan oleh dunia (maya) dalam berita secara bombastis dan agak nganu. Kenapa nganu?? Ya sebab memang akhir-akhir ini banyak berita yang kontennya nganu. Saya pun pusing setiap hari melihat ratusan bahkan ribuan berita nggak penting dan nggak ngefek ke kehidupan sehari-hari saya diposting di berbagai patform media (sosial). Mungkin memang saya yang kurang gaul atau mereka yang kurang pintar ya saya juga kurang faham.

Dua berita paling spektapeler (ya saya nulis ini PELER, nggak typo) yang sedang hangat menghiasi layar kaca (henfon kita) adalah berita kudeta yang gagal di Turki. Dan yang satu lagi adalah tentang game –yang nggak seru-seru amat tapi jadi hits hanya kerena sembari maen bisa sambil skrinsyut buat di path- bergenre kejar daku kau kutangkap dengan tajuk Pokemon Go.

Berita nomer satu. Kudeta di Turki. Langsung aja yah. Who the fuck are they?? What the fuck they’ve done??? What the hell is happened?? Where the hell is Turkey on Google Map?? Where is the fucking correlation about the coup and my life?? Do I give a single fuck?? Hell NO!! Sepanjang timnas Turki masih masuk Euro bahkan World Cup, ya artinya mereka live a happy life lah dibanding masyarakat sepakbola kita yang alih-alih ikut piala Jules Rimet malah jadi njelimet campur politik sampe di banned segala. Sisanya saya otomatis nggak peduli karena itu urusan dapur politik negara mereka.

Berita kedua yang nggak kalah spektapeler ialah kehadiran game Pokemon Go yang lagi-lagi sampe detik ini nggak menarik buat saya (nggak tahu besok). Dimana-mana tampak orang memainkan game yang dulunya nggak digemari ini. Seinget saya sih, dulu gamer-gamer yang main pokemon itu cuma game-geek yang mukanya culun-culun kaya anak-anak Tionghoa yang terisolasi karena nggak ditemenin. Lha memang begitu kenyataannya. Dimana kerennya game ngumpulin monster yang lebih mirip gambar graffiti tembok PAUD??? Dimana hah?? Saya memang gamer. Tapi dari kasta gamer keren, terpelajar nan gaul. Game yang saya mainin itu Metal Gear Solid, PES, Silent Hill dan Resident Evil. Pokemon ya itu tadi, mainan bocah sama gamer-gamer geek yang culun. Nggak ada macho-machonya lah. Makanya sekarang saya kaget juga melihat animo masyarakat dunia (maya) yang seperti terbius oleh kehadiran Pikachu lewat teknologi AR ini.

Usut punya usut sih, yang kemudian digabungkan dengan asumsi dan penelitian kecil-kecilan saya terhadap game atau aplikasi sejenis yang juga booming, saya menemukan satu kesimpulan yang terlihat masuk akal sejauh ini. Ternyata apapun yang dikemas dengan balutan teknologi terkini plus sedikit ramuan eksistensi akan laris dipasaran. Meskipun kadang konten dari aplikasi atau game-nya sendiri, ya biasa saja. Tapi jika aplikasi atau game tersebut mampu mendongkrak eksistensi dan sukur-sukur melompat kelas sosial, niscaya bakal laris manis seperti donat J-co waktu baru muncul di Depok. Kalau dahulu kala kita mengenal ada foursquare dimana pengguna bisa cek in sana-sini yang berakibat pada kesan “beredar” yang ditimbulkan. Beberapa tahun kemudian muncul Path yang menyempurnakan fitur cek in, foto kekinian dan tag beberapa kawan sekaligus (sekarang malah hadir fitur path daily, dimana curhatanmu dipasangin foto-foto yang kadang nggak nyambung). Ramuan sempurna. Untuk orang Indonesia yang sebagian masa dewasanya dihabiskan untuk pamer. Sampai ada istilah kalimat dalam bahasa Inggris untuk mengungkapkan kenaifan serta hiprokisi ala bangsa Indonesia.

“You buy things you don’t need, with money you don’t have, to impress people you don’t like”. Yang artinya orang Indonesia riya, lagi munafikun.

Ooow, tapi tenang. Selalu ada secercah harapan dalam sebuah kebusukan. Selalu ada terang sehabis malam. Selalu ada acar timun ditengah nasi kebuli full kolesterol. Anomali dalam suatu hal pasti ada. Contohnya saya. Dulu waktu orang berbondong-bondong pake Blackberry saya pake Samsung. Saat orang ramai-ramai migrasi ke android saya baru beli Blackberry. Dan saat orang beli Samsung, saya milih Nokia. Persis saat orang gandrung main pokemon, saya malah baru main tetris nih.

Oke. Tampaknya sih bukan cuma saya saja yang nggak terlalu peduli dengan trend Pokemon Go ini. Ada beberapa orang yang saya kenal juga mengungkapkan alasan-alasan kenapa mereka nggak ikutan trend bermain game yang asalnya dari Jepang itu. Karena saya baik hati, saya rangkumin aja deh sekalian alasannya. Silahkan disimak dengan seksama. 10Alasan kenapa kamu nggak perlu main Pokemon Go.


Alasan pertama. Pokemon menyita waktu produktif.
Ini alasan yang memang paling masuk akal. Entah kamu memang nganggur atau kamu angota MLM dengan pangkat Diamond Manager, sehingga kamu nggak perlu mengejar uang. Karena uang yang biasanya mengejar kamu. Maka dari itu kamu butuh sesuatu yang dikejar selain uang. Ketika Pokemon Go muncul, -walaupun masih edisi bajakan- itulah yang kamu jadikan subtitusi sebagai objek fetismu yang wajib dikejar.

Alasan kedua. Pokemon game alay.
Believe me or not, ada temen saya yang nggak maen Pokemon Go simply karena dia merasa itu adalah game alay. Setelah dipikir masak-masak ada benarnya juga. Alay itu cenderung mengerubuti trend. Seperti laler merubung tai.  Jangan Pokemon Go yang cuma aplikasi, agama aja sekarang ada alaynya. Saya menyebut mereka “alay reliji” atau bahasa inggrisnya “ religion hipster”. Eh ada nggak sih istilah religion hipster?? Hahahahaha. Ya pokoknya gitu lah, sekelompok orang yang saling hina atas nama agama terus hobinya nggak siang nggak malem, nggak musim kampanye, nggak musim salak, kerjanya bandingin agama dan ujung-ujungnya jadi buzzer gratis oleh Partai berlandaskan agama.


Alasan ketiga. Pokemon bikin kamu ketergantungan gadget.
Ini alasan sepupu saya. Umurnya baru 21 tahun. Seumur dengan alay-alay nomer dua diatas. Tapi dengan dewasa dan kebapakan dia mengungkapkan alasannya ke saya bahwa Pokemon Go hanya membuat kita ketergantungan pada ponsel dan menjadi individualis. Kalau ada pria dewasa umur 35 tahun yang ngejar Pokemon sampe ke Monas merasa tertampar dengan statement sepupu saya barusan ya maaf saja. Karena saya rasa sepupu saya benar dalam hal ini. Kecanduan narkotik, ganja, minuman keras, seks, dan perempuan itu masih masuk akal buat saya. Rock n Roll sekali. Sangat macho. Kecanduan Pokemon??? Halooo?? Waktu SMA kamu ngapain?? Bikin PR sambil nonton NICKELODEON????

Alasan keempat. Setia dengan game yang lebih dulu eksis.
Nah ini alasan yang disampaikan oleh orang yang juga kebetulan suka main game melalui gadget. Ibarat pasangan, orang yang kaya gini nggak gampang bosen dan cenderung setia. Tipe yang begini nggak gampang ganti kesukaan walaupun trend sedang melanda. Katanya dia terlampau sayang dengan game yang sudah dimainkan jauh sebelum Pokemon Go hadir. Cerminan orang yang males mulai hal baru kalau sudah nyaman dengan yang lama. Nah tipe gamer yang ini cocok dijadiin partner ronda tengah malem. Sama COC aja dia nggak bosen, apalagi sama kamu.

Alasan kelima. Pokemon mengandung sejumlah konspirasi dan mungkin minyak babi.
 Ini mungkin termasuk alasan yang agak absurd dibanding yang lain. Tapi percayalah, ada sekelompok orang di belahan bumi lain yang meyakini ini adalah kebenaran yang hakiki. Dikatakan Pokemon adalah sebuah frasa dari bahasa Yahudi, Syria atau Madura saya pribadi nggak terlalu paham. Arti Pokemon konon berlawanan dengan iman kita selaku Muslim. Yang saya tahu sih Pokemon nggak mengandung babi, atau ada jangan-jangan monster babi???

Alasan keenam. Main Pokemon bikin gadget tambah lemot dan boros baterai.
Ini sih bukan cuma karena main Pokemon Go. Stalking Instagram mantan pacar juga bikin baterai dan paket internet kamu habis. Tapi okelah, alasan ini masih boleh diterima karena kenyataannya memang demikian. Terutama buat kamu-kamu yang bukan penggiat teknologi  yang selalu update dengan gawai keluaran terbaru. Kasian kan Samsung Galaxy Young kamu dibuat main Pokemon Go. BTW, Pokemon Go bisa nggak sih install di Galaxy Young??

Alasan ketujuh. Mencari Pokemon bikin kamu lupa mencari jodoh.
Ini adalah alasan yang sangat esensi dikala umur kamu 32 tahun dan masih sendiri. Bermain Pokemon hanya membuat kamu delusi semakin akut bahwa kamu nyaman dengan kalimat bernuansa naïf  semisal “sendiri lebih baik”. Apalah arti monster berbagai jenis bersemayam di dalam gadget-mu, sementara hatimu sepi, kosong, hampa, berdebu dan bersarang laba-laba. Kapan terakhir kamu kencan dengan lawan jenis?? Kapan terakhir kamu tangkep jenis pokemon langka?? Silahkan direnungkan dua pertanyaan diatas. Mana yang lebih dirasa penting.

Alasan kedelapan. Pokemon (sejauh ini) nggak ngasilin duit.
Berbeda dengan game-game dari platform PC semisal Poker online, Ragnarok, Point Blank yang nyata dikompetisikan dengan hadiah yang lumayan bikin bergidik, Pokemon Go belum ada tanda kesitu. Walaupun nggak menutup kemungkinan jika suatu hari game ini ditunggangi kepentingan-kepentingan bisnis yang membuat pemainnya bisa menjadi gamer professional. Tapi mengingat teknologi gadget mudah berganti seperti kulit bunglon, rasa-rasanya sulit membuat game ini bertahan lama. Ingat, 80 persen player di Pokemon Go adalah orang-orang yang jelas bukan die hard fans serial Pokemon. Bahkan bukan penggemar game. Ramalan saya sih, Pokemon Go ini mirip seperti kasus dua pemeran “Bandung Lautan Asmara”. Sempat booming lalu hilang entah kemana rimbanya.

Alasan kesembilan. Kamu bukan gamer, bukan pula hipster.
Ini sudah jelas. Diantara gelombang kebodohan yang selalu ditiupkan oleh agen-agen propaganda medsos, kamu tetap berdiri tegak dengan pendirianmu. Ciri karakter seperti ini adalah tidak suka share berita nggak jelas. Tidak berpihak kepada sisi yang bertikai, bahkan tidak ikut pemilu. Buat orang seperti ini, trend (baik berupa game, arah haluan politik ataupun gaya hidup) cuma angin lewat yang nggak perlu dipedulikan. Fokus dengan tujuan, persetan dengan trend dan urusan orang. Salut.

Alasan kesepuluh. Pokemon is not your cup of tea.
We all love tea, don’t we?? But we’re not taking every single tea that serves. You might like that tea but you think of something smarter so you leave the cup cold. What world brings to you isn’t enough if you always spill your drink at dinner. Go find the cup of yours. Never waste your time at mine, or his, her, them, and everyone else. You’re not what they wanted you to be. You are something else. You’re fucking original. Do I make myself clear???


Nah, kira-kira begitulah alasan yang bisa saya rangkum dari perbincangan singkat dengan orang-orang yang tidak merasa penting untuk ikut meramaikan “demam” Pokemon Go. Kembali lagi kepada individu merdeka yang berhak menentukan apa yang baik dan buruk buat mereka. Tapi saya punya keyakinan kecil bahwa setelah tulisan ini terbaca tuntas mungkin kamu akan berpikir dan bertanya dalam hati.

“Saya yang main Pokemon?? Atau Pokemon yang mempermainkan saya??”.




8 komentar:

  1. Ane ga perlu 10 alasan, cukup satu kalimat sakti dari ente yg semoga bisa noyor jidad kita semua klo riya itu mudarot!

    “You buy things you don’t need, with money you don’t have, to impress people you don’t like”.

    Barakallah

    BalasHapus
  2. Ringan,mengelitik dan sesuai dengan kondisi yang ada..lanjutkan broth di tunggu tulisan selanjutnya salam "spektapeler".

    BalasHapus
  3. Mas anonimus : Gue tau nih yang salamnya begini-gini nih. Huueueuee.. Tengkyu brok. Ditunggu aja yes.

    BalasHapus
  4. Disini saya akan mengomentari langsung kepada substansi Pokemon Go, karena saya sudah sangat sibuk mengurusi negara saya sendiri dan menurut saya apa yang terjadi di Turki bukan hal yang penting untuk dibahas di blog yg urgensi nya juga tidak begitu crucial. Sah-sah saja apa yang diutarakan Saudara Penulis mengenai eksistensi dari Fenomena Pokemon Go, walaupun tendensi nya cenderung skeptis dan kontra. Saya percaya, setiap produk konvergensi teknologi yang diciptakan manusia, awalnya pasti ada niatan baik nya. Tergantung bagaimana kedewasaan dan kebijaksanaan kita menyikapi dan menggunakannya. Dari artikel-artikel yang saya baca dan menurut pendapat pribadi, banyak juga maanfaat dari game ini (1) pernah ada yg gak sengaja menemukan jodoh sewaktu mencari monster (2) ada anak kecil yg menemukan sekarung uang di tempat sampah sewaktu mencari monster (3)bisa meminimalisir modarot dari game online yg dimainkan di warnet2 cabul (4) bisa meminimalisir orang2 yang kecanduan situs bokep (5)mendorong perndapatan APBD Jakarta jika ahok mengeksekusi ide Pokemon Go dalam kaitan dengan promosi pariwisata (6)menjadikan orang yang mager supaya bergerak, itung2 olah raga (7) menambah sosialisasi melalui komunitas, networking bisa menghasilkan uang juga loh! (8)MENGURANGI NONTON TV, NONTON SINETRON, GOSIP SELEBRITIS, DAN ACARA2 TV YG FAK YU nya KEBANGETAN (9) et cetra, blabla

    nah untuk masalah ketergantungan dan wasting of time, diserahkan kepada masing2 orang lah, dewasalah dalam bertindak. .Too much of something ( in the term of everything not only pokemon Go!) is always bad enough, rite?? jika menurut kalian Fun! yaa mainkan saja...sekian dulu dari saya, mohon maaf jika ada hal2 yg kurang berkenan.
    *there is a silver lining in every cloud and remember, there is a cloud too in very silver lining*

    peace, love and gaul
    -didi -

    BalasHapus
  5. Kak Didi yang bijak : Saya nggak pernah nyangka kalo kakak skritis ini. Saya kira kakak nggak terlalu perhatian dengan isyu-isyu sosial karena terlalu sibuk dengan urusan negara.

    Bener banget, sesuatu yang berlebihan memang nggak baik yes. Ini sih saya cuma mencoba mencari-cari alasan dari sudut orang yang nggak terkena imbas demam Pikachu en de geng. Sisanya ya for fun ajah.

    Btw, inget nggak kak, dulu kita nonton filem kungfu antah berantah di bioskop Megaria. Saya nyesel abis peristiwa itu nggak ngecengin kakak sekalian.

    You're such a smart girl, or mom by now.

    Ton of thanks.
    -Ando-

    BalasHapus
  6. Ah dasar kampungan loh... lu bilang game itu(pokemon) alay? Gak jelas? Atau temen lo yang bilang gitu?? Kalo elo ngerasa "risih" / "jijik" gak usah di ekspose justru elo sendiri yang ALAY dasar kampungan loh!

    BalasHapus