Senin, 22 Februari 2016

Aku, Makananmu dan Nasionalisme Kita





Seperti kata Rahung Nasution, seorang juru masak eksentrik di dalam akun instagram nya "memasak itu merawat ingatan". Sebuah ungkapan yang tulus dan jujur perihal masak memasak. Tanpa embel-embel retorika kuno yang lazimnya didengung dengungkan oleh orang-orang yang katanya cinta budaya lokal, sang koki "jalanan" dengan lugas menyatakan kecintaan nya terhadap memasak dalam kalimat tersebut diatas. Dan saya pun langsung setuju. Kenapa?? Mungkin sebagian dari kita tidak pernah menyicip getirnya rasa andaliman di dalam sepiring ayam pinadar, asam nya durian fermentasi pada sambal tempoyak, dan pasti terlihat malu-malu jika ketahuan menyantap petai si buah "laknat".  Kita lebih sering tertangkap basah menikmati steak, ramen, sushi, sam gye tang, kimchi dan segala propaganda kapitalis tentang mana makanan yang masuk kategori modern, trendy dan kekinian tentunya.  Ada kesengajaan dari beberapa pihak memang agar kita generasi muda dibuat lupa dan mangkir dari aktifitas "merawat ingatan" yang mestinya lebih disukai daripada menjadi traveler nyampah di gunung-gunung, pantai dan juga hutan nusantara.


Namun apa boleh bikin, memasak atau merawat ingatan dalam terminologi Rahung Nasution, apalagi memasak hidangan khas nusantara kadung sudah di identikan dengan orang tua, atau mbok-mbok yang mungkin masih memajang foto presiden Soeharto di dinding rumahnya. Ketinggalan jaman. Gak gaul. Gak update. Masa tahun 2015 masih masak gulai daun mangkok yang pohon nya saja sudah tergusur jadi Seven Eleven. Lagi pula siapa yang mau makan makanan yang namanya saja mungkin tidak masuk wikipedia seperti daun kecipir atau bunga kecombrang. Kalau pun hidangan-hidangan tersebut masih ada, mungkin hanya bisa kita temui di warung-warung penjual makanan tradisional yang jumlahnya tentu saja sangat sedikit. Silahkan lakukan survey acak kepada anak-anak muda di sekitar kita. Mayoritas dari mereka lahir dan besar di Jakarta. Kemudian silahkan bertanya pada mereka apakah mengenal sayur besan, gabus pucung dan kue biji ketapang. Saya pesimis mereka generasi muda penerus cita-cita bangsa itu mengetahui nama-nama kuliner khas Jakarta tempat mereka biasa hangout sambil ngopi-ngopi cantik itu. Kalaupun mereka tahu, saya ragu mereka pernah  menyicipi rasa makanan khas suku Betawi yang hampir punah tersebut. Jadi silahkan saja kita ramai-ramai menyalahkan Jokowi karena tidak pernah mempopulerkan kuliner nusantara di acara-acara kenegaraan. Salahkan Ahok yang orang Cina tetapi memimpin Jakarta sehingga makanan khas daerah yang beliau pimpin  kalah populer dengan Chinese food. Atau mau yang lebih spektakuler lagi salahkan saja kaum Yahudi Zionis yang mencekoki generasi muda dengan junk food dan hidangan kebarat-baratan yang belum tentu halal.


Mari saling menyalahkan hingga kenyang. Hingga orang-orang Israel menemukan obat kanker dari kerak ketiak monyet. Setelah itu coba kita buka akun instagram masing-masing sambil mengabaikan komentar nyinyir dan promo obat penambah tinggi badan yang semakin marak. Arahkan kursor pada kolom pencarian dan ketiklah username "kokigadungan", dijamin kamu akan terbelalak dengan postingan si koki gadungan yang mencapai 2500-an. Tanpa basa basi yang memang sudah basi, kita diajak keliling nusantara oleh foto-foto si abang pemilik akun tersebut. Istilah orde barunya dari Sabang sampai Merauke lah. Walaupun kebanyakan foto yang diunggah masakan Sumatra Utara, namun cukup mewakili untuk sekedar dijadikan rujukan eksikplopedi mini masakan nusantara dari bagian barat yang didominasi hidangan halal bagi Muslim hingga masakan Indonesia timur yang namanya saja belum pernah terlintas dalam khasanah perkulineran yang kita miliki.


Saya rasa terlalu panjang jika harus menulis semua hidangan nusantara yang membangkitkan gairah makan dan bercinta sekaligus pada  instagram kokigadungan. Yang jelas, semua makanan ditampilkan sebanal dan seliar mungkin. Tidak lupa Rahung membubuhkan caption menggoda soal filosofi nya dalam suatu hidangan. Di dalam akun nya kita mungkin kita tidak menemukan sate ayam, nasi goreng ataupun rendang yang menjadi ikon makanan khas Indonesia yang menjadi favorit di dunia.  Tiga makanan favorit hampir 3/4 penduduk Indoneisa itu diganti oleh nama nama seperti gohu, ayam sitsit Lombok, arsik, mie Gomak dan sederet makanan underground / antimainsteram lainnya. Saya pribadi merasa tertampar melihat unggahan foto makanan yang hanya sedikit diantaranya saja pernah saya cicipi. Saya merasa malu sebagai orang Indonesia yang tidak mengetahui apa itu naniura, apa itu rumpu rampe dan banyak hal lain nya yang menohok rasa nasionalisme yang memang kadung sudah luntur. Sepertinya saya juga abai merawat ingatan nenek moyang kita dahulu, wabil khusus urusan kuliner ini. Ketiadaan informasi dan rasa malas mencicipi hidangan khas nusantara hampir saja menjerumuskan budaya warisan para leluhur menuju kepunahan. Untungnya, masih ada sebagian orang yang telaten dalam mendokumentasikan sejarah kuliner bangsa ini. Apa jadinya negara dengan sebaris generasai yang buta masakan para pendahulunya?? Mau jadi apa bangsa ini jika anak-anak muda lebih mencintai churos daripada ketimus??  Pantas saja negeri kita terpuruk hancur luluh lantak. Terdengar ganjil memang memandang makanan sebagai pembangkit semangat gairah pemuda. Tapi tahukah kamu, revolusi itu berawal dari dapur bung. Silahkan tanya Mao Tse Tung didalam kubur sana jika tidak percaya.


Lalu, sampai disini apakah kita sudah sepakat bahwa "merawat ingatan" itu hanya kewajiban orang-orang tua?? pekerjaan para pensiunan ataupun sekedar menjalani takdir bagi mbok-mbok penjual pecel dan tiwul. Coba dipikirkan lagi.

3 komentar:

  1. Sebuah tulisan yang menggugah dan membuat kita bertanya mengenai rasa nasionalisme dari sudut pandang kuliner. Apakah kita selama ini sudah kenal dan merasakan makanan indonesia? Tapi apakah itu makanan indonesia?

    Pakar kuliner Indonesia, William Wongso berpendapat tidak ada yang namanya makanan Indonesia, yang ada hanyalah makanan atau masakan daerah. Lebih lanjut Wongso mengatakan kita bisa mengatakan bahwa semua jenis masakan yang berasal dari indonesia sebagai "makanan Indonesia". Tapi pada saat yang sama, tidak ada benang merah yg menjadi ciri makanan indonesia.

    Indonesia tidak punya pizza, kari atau tom yam yang menjadi simbol dari negaranya masing-masing.

    Justru eksotisme dan keulayatan masakan tiap daerah itu yang menjadi representasi dari kekayaan budaya kuliner di Indonesia.

    Jadi, apakah kita sudah kenal dan merasakan masakan daerah di Indonesia?

    Tabik


    -gaung nugraha-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas John yang kalem,

      Makanya saya lebih sering nyebut nya masakan nusantara. Karena sejatinya gak ada masakan yg katanya asli Indonesia benar-benar autentik dimasak oleh nendk moyang nusantara kita dulu yang konon (jangan dibalik) adalah pelaut.

      Trimskici masupannya. Neks tim bikin tulisan yg lebih trengginas lg deh.

      Salam olahraga.

      Hapus
  2. Sebuah tulisan yang menggugah dan membuat kita bertanya mengenai rasa nasionalisme dari sudut pandang kuliner. Apakah kita selama ini sudah kenal dan merasakan makanan indonesia? Tapi apakah itu makanan indonesia?

    Pakar kuliner Indonesia, William Wongso berpendapat tidak ada yang namanya makanan Indonesia, yang ada hanyalah makanan atau masakan daerah. Lebih lanjut Wongso mengatakan kita bisa mengatakan bahwa semua jenis masakan yang berasal dari indonesia sebagai "makanan Indonesia". Tapi pada saat yang sama, tidak ada benang merah yg menjadi ciri makanan indonesia.

    Indonesia tidak punya pizza, kari atau tom yam yang menjadi simbol dari negaranya masing-masing.

    Justru eksotisme dan keulayatan masakan tiap daerah itu yang menjadi representasi dari kekayaan budaya kuliner di Indonesia.

    Jadi, apakah kita sudah kenal dan merasakan masakan daerah di Indonesia?

    Tabik


    -gaung nugraha-

    BalasHapus