Siapa
sih Gloria Natapradja Hamel?? Siapa pula Arcandra Tahar?? Nama yang pertama
menjadi buah bibir netizen (sekelompok orang yang nggak punya hobi lain selain
menatap gadget dan berkomentar di dunia maya) tatkala dara berumur 16 tahun itu
urung mentas pada pagelaran akbar pengibaran bendera sangsaka merah putih di
hari kemerdekaan Indonesia yang ke 71 kemarin. Persiapan bak latihan militer kw
selama satu bulan pun harus pupus di depan mata hanya karena Gloria tersandung
UU no 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan. Yes, Gloria harus gigit jari
(lima-limanya kalo perlu) karena Kementrian Hukum dan HAM menyatakan bahwa Gloria
memiliki paspor Perancis dan langsung dinyatakan kehilangan statusnya sebagai
WNI.
Sedangkan
nama yang kedua lebih bombastis lagi. Bapak yang ditunjuk oleh Prsiden Jokowi
pada 27 Juli 2016 sebagai Menteri ESDM Kabinet Kerja ini harus menerima nasib
buruk bahwa karirnya sebagai menteri ternyata nggak lebih panjang dari durasi
pacaran anak SMP. Arcandra Tahar menjabat posisi strategis itu hanya selama 20
hari. Yes, tiga minggu kurang 24 jam. Sama degan Gloria, Pak Arcandra ini pun
dinyatakan mengantongi paspor Amerika yang serta merta membuat hak-haknya
sebagai WNI (termasuk menjabat sebagai menteri) harus tercabut paksa. Tak ayal
jebolan Teknik Mesin ITB ini langsung memecahkan rekor sebagai menteri dengan
masa jabatan terpendek. Bukan sebuah rekor yang prestis memang. Namun cukuplah
buat bapak ini nambah follower di Instagram sebagai mana yang dialami Gloria
Natapradja Hamel.
Baik
Arcandra maupun Gloria mungkin tadinya adalah orang-orang yang lolos dari
sorotan gemerlap media sosial. Keduanya lebih aktif bekerja dalam diam.
Arcandra Tahar selepas menamatkan studi di ITB langsung melanjutkan
pendidikannya ke negeri yang paling dibenci oleh PKS selain Israel, Amerika.
Disana Bapak dua orang putri sukses menjadi konsultan beberapa perusahaan pengeboran
minyak Internasional. Tidak banyak yang mengetahui jika sosok Arcandra lah yang
memiliki peran dalam nego-nego Presiden Jokowi menarik kembali blok Masela agar
dikuasi oleh Indonesia. Mungkin itulah yang membuat pria penggiat Islamic
Family Academy di Houston ini dilantik menjadi Menteri ESDM menggantikan si
musuh papa, Sudirman Said.
Kemudian
Gloria kita pasti semua sudah tahu. Anak gadis (ya anggaplah dia masih gadis)
berumur 16 tahun itu cuma terbagi menjadi 3 golongan. Hipster indie, Korea maniak
dan remaja tanggung kampungan followernya AwKarin. Tapi Gloria ini berbeda, ia
mengabdikan masa remajanya yang berprestasi sebagai salah satu anggota
Paskibraka tingkat Nasional yang proses seleksinya melibatkan tes keperawanan
(sesuatu yang konon mulai langka di kalangan remaja puteri). Sontak dalam waktu
beberapa hari menjelang hari “kemerdekaan basa-basi” di 17 Agustus kemarin,
nama mereka melejit menjadi kehebohan dunia maya. Ribuan simpati, pujian,
bully, caci maki mengalir deras menghiasi lini masa gawai kita. Semua itu
terjadi hanya karena persoalan kewarganegaraan, yang kemudian kita tarik lagi bersama-sama
menjadi perkara nasionalisme.
Isyu
kewarganegaraan dan nasionalisme ini seakan menjadi problematika yang tiada
titik terangnya. Ibarat onani dengan pelumas balsam cap kampak, panas. Ya kita
semua sadar bahwa Indonesia itu adalah sebuah Negara kepulauan yang terdiri
dari berbagai macam campuran suku bangsa dan ras, dan masalah “nasionalisme”
ini memang salah satu isyu “panas” yang kerap dilempar oleh pihak-pihak
berkepentingan menjelang beberapa event tertentu. Sialnya, ternyata banyak
orang yang terkena imbas dari “racun” itu
dan kemudian menafsir perihal rasa cinta tanah air untuk kemudian
mendangkalkan maknanya seperti melihat warna
hitam dan putih. Padahal masalah nasionalisme itu sama sekali nggak
berbanding lurus dengan kewarganegaraan seseorang, jauh lebih kompleks dari
itu. Kamu nggak bisa bilang bahwa kamu memiliki cinta yang lebih besar kepada
Indonesia hanya karena matamu belo, kulitmu coklat dan namamu Supriyanto,
dibandingkan tetanggamu yang sering kamu teriakin “Cina”.
Lagipula,
apa sih yang dimaksud dengan nasionalisme?? Memang kamu tahu?? Menurut KBBI,
nasionalisme adalah suatu paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan Negara
sendiri. Dalam kalimat diatas terdapat sebuah kata “mencintai”. Itu pokok dari
arti nasionalisme. Sedangkan cinta sendiri adalah suatu hal yang absurd. Bukan
seperti beras yang bisa dihitung perkilo. Jadi, sangat tidak tepat mengukur
tingkat kecintaan seorang warga negara hanya lewat selembar surat, asal muasal
nenek moyang, warna kulit, dan hal-hal fisik nan retorika lainnya.
Sejarah
sendiri mencatat beberapa nama yang mungkin terdengar asing di telinga kamu
yang lebih suka bales-balesan komen Facebook daripada membaca. Sosok asing
tersebut mengorbankan kepentingan pribadi bahkan jiwa dan raganya demi
kecintaannya terhadap sebuah negara bernama Indonesia.
Yang
pertama ada seorang wanita asal Skotlandia bernama Muriel Stuart Walker
(mungkin sepupunya Johnie Walker). Wanita
ini sebenarnya berkarier sebagai penulis naskah film di Holywood, namun akhirnya
ia harus ikut migrasi bersama suaminya menuju Bali pada tahun 1932. Di Bali
Muriel diangkat anak oleh raja setempat dan mengganti namanya menjadi K’tut
Tantri. Selama perang kemerdekaan berkecamuk, K’tut Tantri bergabung dengan
laskar pejuang dan ikut bergerilya bersama Bung Tomo yang legendaris itu. K’tut
Tantri menjadi saksi keganasan Arek Suroboyo menghadapi mesin perang Inggris
dalam peristiwa 10 November yang kemudian dikenang sebagai hari Pahlawan. Ia
juga menjadi penyiar “Voice of Free Indonesia” dan bahkan membuat pidato bahasa
Inggris pertama untuk si Bung Besar, Soekarno. Pendengar siarannya yang
mayoritas warga Eropa menjuluki K’tut Tantri “Surabaya Sue”. Sampai akhir
hayatnya Muriel Stuart Walker a.k.a K’tut Tantri nggak pernah memegang paspor
Indonesia. Kamu berani meragukan nasionalime-nya??
Kemudian
ada pria asal Belanda bernama Jan Cornelis Princen, yang kemudian lebih
terkenal dengan nama Haji Johannes Cornelis Princen. Pria yang sewaktu muda
dipaksa masuk menjadi tentara KNIL ini dikenal tidak menyukai segala bentuk
penindasan yang membuatnya terus memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Karena penindasan itu juga yang membawanya
membelot dan disertir untuk bergabung bersama TNI pada saat agresi militer
Belanda yang kedua. Keluar masuk hutan bergerilya bersama pasukan Divisi
Siliwangi menuju Jawa Barat membuat Jan Cornelis Princen mendapat Anugerah
Bintang Gerilya oleh Presiden Soekarno. Selepas perang fisik, Jan Cornelis
Princen aktif dan populer di dalam dunia politik. Banyaknya ketimpangan dan
kecurangan membuatnya mengundurkan diri dari parlemen sambil terus bersuara
tegas kepada pemerintah. Keluar masuk penjara adalah makanan bagi Jan Cornelis
Princen karena kritik tajamnya kepada pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru.
Hingga pada tahun 1981 ia ikut mendirikan YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia). Sepanjang hayatnya pria asli Belanda ini dikenal sebagai pejuang
HAM di Indonesia. Kamu masih meragukan kadar nasionalisme-nya??
Oke,
kalo dua nama diatas terdengar asing bagi kamu, mari kita membicarakan nama
yang lebih familiar di telinga. Pernah mendengar nama Susi Susanti. Nama yang
sangat membumi dengan prestasi selangit. Atlit bulutangkis legenda Indonesia
ini lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat dengan nama asli Wang Lian Xiang. Yes, Kak
Susi ini punya darah Tionghoa kental mengalir di dalam dirinya. Kalau saja ia
tidak meraih emas Olimpiade Barcelona tahun 1992, mungkin orang akan mengumpat
“Dasar Cina” kepadanya seandainya Susi membuka toko kelontong dan harga
barangnya nggak bisa ditawar.
Namun
apa boleh bikin, Allah SWT, Tuhannya umat Islam -bukan Tuhannya Susi karena dia
sendiri Kristen- malah menakdirkan Susi Susanti menjadi kebanggaan negara yang
sebagian warganya membenci etnis Tionghoa. Saat itu pembenci etnis Tionghoa terpaksa menjilat ludahnya sendiri kala mereka tanpa sadar ikut mengelu-elukan nama Susi Susanti sebagai pahlawan bangsa Indonesia setelah
menggondol pulang medali emas pertama di Olimpiade melalui cabang bulu tangkis
tunggal putri. Meski telah menjadi pahlawan olimpiade tidak lantas membuat Susi
Susanti memperoleh perlakuan setara sebagai bangsa Indonesia. Saat hendak
menikah dengan Alan Budikusuma -yang juga menyumbang emas olimpiade di tahun
yang sama dengan Susi-, dirinya menemukan kesulitan birokrasi yang membuatnya
kecewa. Susi yang lahir di Jawa Barat dan fasih berbahasa Sunda ini
menghabiskan masa mudanya berlatih bulutangkis demi mengharumkan nama Indonesia
di kancah internasional. Dimana kurangnya nasionalime Susi Susanti??
Yang
paling update, masih dari dunia bulutangkis, di Olimpiade Rio 2016 cabang
olahraga unggulan Indonesia ini kembali unjuk gigi dengan memulangkan tradisi
emas bulutangkis ke pangkuan ibu pertiwi. Duet maut Tontowi Ahmad dan Liliyana
Natsir berhasil menghajar pasangan dari negara tetangga Malaysia di babak
puncak. Kemenangan terasa semakin bermakna karena terjadi persis di tanggal 17
Agustus yang merupakan hari kemerdekaan Indonesia. Pagi hari kita disajikan
seremonial basa-basi setahun sekali yang terasa membosankan. Namun pada
malamnya, tanggal 17 Agusutus manis ditutup dengan euphoria “nasionalisme” yang
meluap-luap karena lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan sambil
mengiringi bendera sangsaka merah putih naik menjadi yang tertinggi di kota Rio
de Jeneiro.
Kemenangan
monumental hari itu sekali lagi mengajarkan kita tentang arti “nasionalisme”
yang sebenar-benarnya. Tentang menjadi
“Indonesia” secara utuh. Susi Susanti, Alan Budi Kusuma, Liliyana Natsir dan
puluhan bahkan ratusan atlit bulutangkis keturunan Tionghoa lainnya nggak perlu
mengganti nama, berpindah agama, atau bahkan operasi mata dan kulit hanya untuk
membuktikan bahwa mereka adalah bagian sah dari Indonesia yang didominasi oleh
sekelompok orang dengan atribut yang berbeda.
Maka
katakanlah Arcandra, Gloria, Muriel, Jan Cornelis, Susi, Alan, dan Liliyana
bukan orang Indonesia asli. Sehingga nasionalisme-nya serta merta boleh
diragukan. Terus apa kabar dengan kita?? Saya dan kamu?? Iya kamu. Apa yang
sudah kamu berikan terhadap negara?? Berbagi postingan SARA di Facebook dan
menganggap perbuatan itu pencerahan bagi masyarakat?? Menganalisa peta
perpolitikan tanah air berdasarkan postingan temenmu dan menganggap itu
edukasi??? Mengajak orang lain untuk menurunkan Presiden terpilih CUMA melalui twitter
dan berpikir itu revolusioner??? OMONG KOSONG.
Kamu
tersinggung?? Lebay ah kamu, kaya baru aja tinggal di Indonesia.
Isyu kewarganegaraan dan nasionalisme ini seakan menjadi problematika yang tiada titik terangnya. Ibarat ONANI dengan pelumas balsam cap kampak, panas.Merdeka
BalasHapusMerdeka juga, mas anonoh, eh anonim.
BalasHapus