Jakarta, kota yang penuh dengan perasaan “amsyong”. Apa sih itu perasaan amsyong?? Perasaan dimana kamu ngerasa apes seapes apesnya.
Contoh. Misalnya suatu hari kamu dateng ke rumah kecengan. Abis mandi
wangi. Pake baju baru beli. Nggak lupa bawa buah tangan khas pejuang-pejuang
penakluk hati calon mertua, martabak telor. Dengan gagah berani kamu masuk
sambil mengucap salam biar berkesan relijius. Sampe di depan ruang tamu tampak
pemandangan ganjil. Iya ganjil. Maksudnya ada tiga orang duduk disitu. Mereka
adalah kecengan kamu, mamanya, dan satu pria yang belum pernah kamu lihat
sebelumnya. Wajahnya nggak tampan-tampan amat, tapi senyumnya bak Cristiano
Ronaldo merebut Ballon d’ or. Senyum sang juara. Kamu bingung, merasa terjebak
di situasi kikuk yang nggak diperkirakan sebelumnya. Biji mu sontak mengkeret,
simbol nyali yang perlahan ciut setelah kamu menoleh kearah meja tamu. Disitu
ada martabak. Iya martabak persis seperti yang kamu bawa. Tapi disebelahnya ada kunci mobil. Persis,
kunci mobil bikin sekotak martabak jadi lebih powerfull dan ganas. Sedangkan
martabakmu, cuma cemilan sore bapak-bapak nganggur yang main catur di pos
ronda.
“Hai..”, kecenganmu menyapa.
Kamu nggak kuasa buat bales, cuma senyum bingung
sambil menunggu momen selanjutnya dan berharap kali ini bukan hari sialmu.
Tentu saja boleh berharap, tapi sayangnya, kadang harapan dan kenyatan suka
saling mengkhianati satu sama lain.
“masuk sini.., kenalin ini Bram pacar baru aku”.
JELEGEEEERRR!!! Tiba-tiba petir menyambar keras
didalam kepalamu. Seketika kamu limbung, pandangan kabur, lama-lama menjadi
hitam. Black out. Semua gelap. Kemudian kamu terbangun di klinik terdekat.
Sahabat-sahabatmu berdiri mengelilingi. Kamu bingung dan sedikit lupa (lebih
tepatnya coba melupakan) dengan apa yang terjadi. Kamu menatap sekeliling
perlahan. Pupil matamu membesar menyesuaikan dengan cahaya pagi yang masuk dari
sela-sela gordyn klinik sampai tiba-tiba
salah seorang sahabatmu nyeletuk.
“Ini udah perempuan ke dua puluh dua yang gagal lu
deketin,
nggak minat sama laki aja???”
…………………………………
Nah, itulah yang saya maksud perasaan amsyong.
Jakarta memang terlalu kejam untuk pria-pria berhati rapuh seperti saya. Kaya
nggak bisa gitu sehari saja nggak ada peristiwa yang bikin kesel. Mulai dari macet,
OB bikin mie instan hambar, didamprat atasan karena telat, klien marah-marah,
laptop hang sampe yang paling mutakhir ya kejadian di atas itu tadi. Kecengan
saya disikat lelaki yang lebih mapan. Tapi ya gimana, life must go on walaupun
jalaninnya jungkir balik juga.
Tapi hari ini sedikit berbeda nih. Cuacanya. Tentu
saja. Hari ini Jakarta adem dan sejuk bener. Cuaca gerimis London. Gerimis
London itu adalah cuaca gerimis halus dengan langit mendung persis kaya suasana
pada background film-film British yang saya tonton di dvd bajakan. Biar
terlihat makin London hari ini saya pake vest rajutan yang kalo dipake hari
biasa rada gerah. Tapi serius lho, hari ini Jakarta bersahabat banget.
Seharian ini auranya menyenangkan. Lalu lintas yang biasanya macet, hari ini tetep macet. Cuma karena saya naik Uber gratis jadi biar macet tetep nggak ada beban. Sampe kantor juga ketemu atasan lagi pada senyum. Entah lah, mungkin mereka lagi giting. FYI aja, di beberapa kantor agensi periklanan, menghisap mariyuana bukan pelanggaran hukum, apalagi cuma melanggar aturan kantor. Jadi atasan yang senyum-senyum terus saya asumsikan aja lah ya kalo mereka lagi “high”. OB yang biasanya suka salah beli tiap pesen makanan juga entah kenapa hari ini jadi bener. Dan yang paling penting nggak ada klien ngomel-ngomel telepon ke kantor.
Seharian ini auranya menyenangkan. Lalu lintas yang biasanya macet, hari ini tetep macet. Cuma karena saya naik Uber gratis jadi biar macet tetep nggak ada beban. Sampe kantor juga ketemu atasan lagi pada senyum. Entah lah, mungkin mereka lagi giting. FYI aja, di beberapa kantor agensi periklanan, menghisap mariyuana bukan pelanggaran hukum, apalagi cuma melanggar aturan kantor. Jadi atasan yang senyum-senyum terus saya asumsikan aja lah ya kalo mereka lagi “high”. OB yang biasanya suka salah beli tiap pesen makanan juga entah kenapa hari ini jadi bener. Dan yang paling penting nggak ada klien ngomel-ngomel telepon ke kantor.
Maka dari itu saya bahagia sekali hari ini. Walaupun
cuaca mendung, tetapi hati saya sih tetap cerah. Secerah langit di bulan Juli
waktu saya masih SD dimana musim masih datang teratur di Indonesia. Belakangan
alam pun ogah-ogahan dan semaunya aja. Persis kaya kelakuan orang Jakarta.
Alhasil kita sering mendapati matahari telek bersinar di bulan Desember, dan
hujan lebat segede-gede biji jagung di bulan Juli.
Sampai sore hari semua berjalan menyenangkan. Nggak
ada kejadian yang bikin hati kesel. Sampe akhirnya tibalah waktu yang
ditunggu-tunggu oleh seluruh kelas pekerja di Ibukota yang keras ini. Jam
pulang kantor. Dengan gesit saya melesat menuju mesin absen, menempelkan jempol
sambil senyum-senyum sendiri. Dari dalam kantor terlihat cuaca masih agak
mendung. Gerimis halus masih terus menyiram tanah menciptakan aroma yang khas.
Saya termasuk orang yang suka hujan. Terutama hujan duit, dan hujan airmata
dari perempuan cantik yang menyenderkan kepalanya ke pundak saya saat nonton
film “Habibi” di bioskop.
Hujan pula yang membawa memori saya kepada sebuah
adegan film Indonesia tahun 80an yang dibintangi Herman Felani, Roy Marten atau
Roma Irama, entahlah. Saat itu si aktor lelaki sedang pergi tamasya ke puncak
dengan sang kekasih. Yang sepertinya diperankan dengan apik oleh Yati Octavia.
Mereka sangat bahagia. Sampai ketika hendak pulang ke Jakarta, tiba-tiba hujan
turun demikian derasnya. Tidak ingin kehujanan saat di jalan pulang, si aktor
lalu membisikan kata-kata pamungkas kepada kekasihnya.
“Sayang, kita bermalam disini yah? Hujan deras
sekali”.
Adegan selanjutnya mudah ditebak. Sebuah transisi
untuk mengakali adegan mesum yang digambarkan oleh kilatan petir menggelagar.
Setelah itu tampak set sebuah kamar dengan ranjang seprai putih berantakan. Di
satu sisi tampak si pemeran wanita terisak sambil menutupi bagian atas tubuhnya
dengan ujung selimut. Sang aktor bertelanjang dada dan berbulu berdiri di dekat
jendela. Wajahnya penuh penyesalan.
“Mas, aku merasa berdosa!! Aku merasa kotor!!” si
pemeran wanita berujar.
“Aa..aku akan bertanggung jawab. Jangan khawatir”.
Tidak lama terdengar suara pintu diketuk. Si aktor
membuka pintu. Di depannya tampak lelaki paruh baya penjaga penginapan membawa
nampan berisi makanan.
“Sayang, makan dulu, Aku sudah pesankan kamu mie
rebus.
Habis itu
kita pulang”.
Si pemeran wanita tidak menjawab. Ia masih menangis
tersedu. Suasana kikuk setelah keperawanan yang terenggut terlalu dingin untuk
dihangatkan oleh semangkuk mie rebus.
………………………………
Berbicara tentang mie rebus, itu adalah salah satu
makanan yang menjadi favorit saya. Favorit semua orang mungkin. Hujan dan mie
rebus memang seperti dua sobat yang yang tak dapat dipisahkan. Saling
melengkapi satu sama lain. Saat cuaca sedang mendung begini adalah momen yang
tepat untuk mampir ke warung mie langganan di seberang kantor. Akhirnya saya
memutuskan untuk tidak langsung pulang hari ini. Gerimis halus turun membasahi
vest rajutan yang berwarna biru muda. Warna kesukaan mantan saya terdahulu. Dan
karena saya menghormati semua barang-barang pemberian mantan makanya hingga
sekarang saya masih memakainya. Sebagian orang bilang saya belum “move on”, I
already did actually. Buat saya ini cuma nostalgia sambil berharap mantan saya
khilaf dan mau balikan lagi.
Dengan setengah berlari saya masuk kedalam warung
mie yang tidak begitu besar. Belakangan trend mie instan dengan segala rupa
olahannya tengah menjangkiti kawula muda di kota-kota besar termasuk Jakarta.
Sebagai pelaku dunia kreatif yang sangat trendy saya pun ikut serta. Awalnya
agak jengah juga ikut nongkrong di tempat yang dipenuhi oleh remaja-remaja usia
sekolah yang kalau tertawa sengaja dikencangkan volumenya beberapa bar untuk
mencuri-curi atensi pengunjung lain. Namun karena lokasi yang dekat dengan
kantor dan kebetulan mie instan adalah makanan favorit dari zaman susah sampe
senang, akhirnya saya pun tanpa sadar betah bolak-balik ke warung ini.
Sore ini tampak warung tidak terlalu penuh. Mungkin
karena hujan. Anak-anak abg tanggung biasanya hanya punya fasilitas motor
kredit pemberian orang tuanya yang mempertaruhkan nasib masuk neraka hanya
karena membeli barang cicilan leasing yang mengandung riba demi buah hatinya.
Mumpung kosong, segera saya mengambil lokasi duduk agak di pojok. Posisi
menentukan prestasi. Itu prinsip yang sedari sekolah dulu saya pegang dengan
teguh. Seteguh nasihat orang tua agar anak-anaknya tidak memakai narkoba dan berhubungan
seks pra nikah. Dari pojok saya bisa mengamati dengan jelas beberapa
pengunjung yang duduk ditengah dan siapa yang baru masuk ke dalam warung. Ini
penting, sebab kamu tidak akan pernah tahu dimana, dan kapan kamu akan bertemu
dengan lawan jenis yang mampu menjungkirbalikkan duniamu.
“Mang, pesen apa??”
Tiba-tiba suara pelayan membuyarkan konsentrasi saya
yang fokus menatap keluar warung.
“Biasa, mie rebus cabe gerus”.
“Oke”.
Si pelayan hanya menjawab singkat dan kemudian
berlalu. Hampir semua pelayan disini sudah faham dengan kebiasaan makan mie
saya. Mie rebus dengan telur setengah matang plus cabai rawit yang diulek kasar
sehingga menciptakan aroma pedas yang menantang selera. Terutama saat hujan
begini. Saya pun lanjut membuka ponsel dan kemudian tenggelam dalam lini masa instagram
para blogger wisata yang fotonya mampu bikin anak-anak tanggung naik gunung,
turun ke laut dengan menempuh segala risiko yang menanti. Jujur, kadang saya
juga iri dengan para blogger itu yang full time bertualang dan mendapatkan uang
dari menjual tulisan dan foto-foto perjalanan mereka kepada portal berita
ataupun website traveling yang kian marak belakangan.
Tapi apalah arti hidup dengan perasaan iri??
Bukannya Tuhan sudah menciptakan semua pada porsinya. Biarlah petualang
mendapat kesempatan untuk bercinta dengan alam. Sementara saya, kamu dan
sebagian bocah-bocah yang nggak kesampaian untuk berkelana keliling Indonesia
mengkonsumsi alam hanya dalam bentuk citra yang dipancarkan layar ponsel. Kami-kami
inilah yang membuat dunia berjalan. Kaum pengkonsumsi apapun yang disajikan
kaum kapitalis melalui “tangan-tangan” akun sosial media.
Sedetik kemudian pelayan mengahampiri membawa
makanan pesanan. Dari jauh aroma cabe rawit gerus sudah tercium. Cacing-cacing
di perut kompak bernyanyi minta jatah. Si pelayan dengan tingkat kesopanan yang
agak dibuat-buat menyajikan mie rebus di atas meja. Belum saja masuk
kerongkongan, keringat saya sudah menetes hanya dengan menatap semangkuk mie nangkring
diatas meja. Adrenalin serasa berpacu saat akhirnya saya memasukan suapan
pertama ke dalam mulut.
“NYOSSS!!!”.
Rasa pedas bercampur gurih dan panas dari mie
menyeruak masuk ke dalam mulut. Sensasi dahsyat yang melenakan. Andai saya
sudah menikah dan mertua minta angkatin jemuran saat hujan, saya tentu cuek dan
lebih memilih makan mie instan. Apa boleh buat, rasa gurih hasil kolaborasi msg
memang sangat membius. Suapan kedua pun akhirnya meluncur mulus. Ditemani
dengan ulekan kasar cabe rawit dan potongan kuning telur setengah matang yang
melted di dalam mulut.
“..,sempurna”
tanpa sadar saya ngomong sendiri mengomentari
kelezatan mie instan.
“Hah?? Apanya??”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah depan meja yang
membuat kaget. Saya mendongak untuk memastikan. Sambil batuk karena keselek mie
saya menatap sesosok perempuan yang berdiri sambil memeluk sebuah laptop dengan
logo apel dimakan codot. Oke, artinya perempuan ini dari tadi memperhatikan
saya makan di sini. Sambil mengumpulkan kepercayaan diri, saya kemudian berdehem
untuk memberi kesan serius.
“Mie rebusnya, yang sempurna..” jawab saya mantap.
“Whatever..” si perempuan membalas singkat.
“Boleh nggak saya, duduk disini??” kata si perempuan
lagi sambil memberi gesture sedikit memohon yang saya tangkap sebagai usaha
flirting. Maklum, setahun lebih jomblo membuat reaksi saya terhadap tindakan
lawan jenis menjadi lebih lincah dan sensitif. Tanpa ragu saya tersenyum dan
memberi isyarat tangan bahwa dia boleh duduk berbagi meja dengan saya.
“Cuma di sini doang yang ada stop kontaknya. Saya
butuh buat charge laptop…” si perempuan berkata sambil membuka laptop di
depannya. Saya sih nggak gitu peduli dengan maksud dan tujuan lawan jenis ini
disini. Peremuan secantik ini jangankan numpang duduk, nebeng pulang, atau
minta pulsa pas di kantor polisi pun saya kasih. Mata saya kemudian asik
menelusuri tiap detail dari wajah oriental perempuan di depan meja dan sejenak
melupakan mie instan yang sebentar lagi menjadi dingin.
“Hei, ngeliatin apa?? Dimakan tuh mie nya!!”
“Hahaha, eggak. Nggak liatin apa-apa”. Kampret, kecolongan
saya. Ketauan ternyata merhatiin wajahnya dari tadi. Malu juga. Kadung ketahuan,
harga diri yang berserakan perlahan saya kumpulkan dan kemudian mencoba manuver
lain.
“Kamu nggak pesen makan??”
“Oh iya. Mang, mie rebus satu. Cabe nya digerus yah!!”
FAAAAAAK!!! Saya yang sedang makan sampai menyembur
kuah mie instan dari dalam mulut karena kaget. Ternyata perempuan cantik ini
punya hobi yang sama. Makan mie rebus dan cabe gerus. Si perempuan menatap
heran campur geli. Potongan mie dan sedikit kuah tertumpah di meja. Beruntung
nggak sampai mengenai laptopnya yang mahal itu.
“Kenapa?? Makan sampe keselek gitu??” terlihat si
perempuan panasaran.
“Enggak. Kirain cuma saya gitu yang suka mie rebus
cabe gerus.”
“Oooh, itu. Hahahaha”
Perempuan di depan saya tertawa renyah sekali. Kedua
matanya yang sipit sampai menutup menciptakan garis hitam tegas ditengah kulit
wajahnya yang putih bersih. Pemandangan lumayan langka juga ini, saya membatin.
“Kamu suka mie rebus sama cabe digerus juga??” Tanya
si perempuan dengan raut sangat ingin tahu. Mungkin dia sendiri juga nggak
yakin ada orang lain yang suka dengan metode penyajian mie instan seperti itu.
“Suka. Pake Banget.” Jawab saya mantap karena meraba
situasi yang spontan cair.
“Gokil. Kirain saya doang yang kaya gitu.
Semua temen saya bilang saya aneh.
Karena mereka biasanya kan kalo pesen mie pake rawit
paling cuma diiris aja kan cabenya. Nggak nyangka juga ada orang yang kaya
saya.
Hahahaha. Well maybe it’s my lucky day”.
“Yes. Maybe it’s mine too..”
Perempuan di depan saya ini benar-benar mempunyai
pesona yang lengkap. Cara dan nada bicara, serta gesturnya mencerminkan ia
adalah gambaran nyata dari perempuan modern yang tidak hanya cantik tapi juga
cerdas. Padahal baru sebentar kami duduk bertukar sedikit obrolan dan informasi
disini. Karena tertarik dengan obrolan soal mie rebus membuat saya melambatkan
kecepatan makan agar nggak kelihatan laper banget.
“Sejak kapan suka makan mie cabenya digerus” ,tanya
saya penasaran.
“Ehmm.., sejak kapan yah?? Kayanya sejak ngekos aja
sih. Kan anak kos
sering makan mie instan tuh. Jadi ya segala macem
metode udah saya coba.
Dan yang paling enak ya cabe digerus ini..”
“Seriusan?? Sama berarti. Tadinya saya suka pake
saos. Tapi karena
banyak makan saos bisa bikin kanker, saya beralih ke
cabe rawit.”
“Lho, bukannya makan mie instan juga bikin kanker??”
“Enggaklah, itukan akal-akalan Ikatan Dokter
Indonesia aja.”.
“Ooh.. “.
Di tengah obrolan yang mulai asik, tiba-tiba datang
lagi pelayan membawa pesanan mie rebus untuk perempuan oriental di depan saya
ini. Dia tersenyum dan langsung menatap buas kearah mangkuk mie. Tanpa basa-basi
suapan pertama meluncur dengan brutal.
“Eh kamu kenapa berhenti makannya??” si perempuan
oriental tersadar karena saya berhenti makan dan malah mengamatinya.
“Nggak apa-apa. Seru aja liat kamu makan.”
“Kenapa emang??”
“Yaaa.., biasanya kan perempuan kalo makan itu
jaing..”
“Hah.., apa??”
“Eh, jaim maksud saya..”
“Ow.., jaim”,
“Iya jaim.. kan perempuan selalu begitu.”
“Enggak sih. Saya nggak suka jaim. Buat apa??”,
“Yaa, supaya terlihat cantik aja..”
“Hahahaha.., cantik kan bukan dilihat dari cara
makan.”
“Yaaa, at least harus manner lah gitu.”
“Manner?? So you’re talking about the way we behave
when we’re eating a fucking instant noodle in this
public space that full of irritating teenager??
I behave when I have to.”
“Hmm.. iya juga sih. Hehehehe” Skak mat. Salah saya
sepertinya ngomong soal manner sama perempuan yang satu ini. Dia “lebih” dari
yang saya kira. Saya nggak mampu menjawab lagi, cuma tersenyum kecut sambil
membuang pandangan ke arah lain.
“Why?? What’s wrong?? Kamu pikir saya akan kikuk
gitu karena kamu melihat cara makan saya yang mungkin nggak “cantik” buat
sebagian orang.”
“Noo.. “ Padahal yes. Gila. Perempuan ini bisa
membaca pikiran saya.
“Gini lho. Saya rasa Dian Sastrowardoyo pun kalo
lagi
makan siomay di kantin kampus bareng teman-temannya
juga pasti nggak behave-behave amat kan ya??”
“Yaaa.., itu kan Dian Sastro. She’s a fucking
exception” Jawab saya setengah berbisik sambil mendekatkan wajah saya kearah
wajah si perempuan oriental. Kadar kepercayaan diri saya meningkat seketika.
“Why??”
“Yaa, hanya karena dia Dian Sastro. Dia boker aja
masih tetap cantik.”
“HHAHAHAAHHAHA!!” Si perempuan oriental tertawa
keras sekali. Terlihat beberapa remaja di sekitar kami memperhatikan. Mungkin
mereka mengira kami orang-orang dewasa yang kurang piknik atau entahlah.
“You’re such a funny guy..” kata si perempuan
oriental disela tawanya.
“And you are such a beautiful lady..”
Tanpa dikomando kata-kata bernuansa flirting
meluncur begitu saja dari mulut. Apa boleh buat. Terlanjur keluar, saya pun
berusaha tetap terlihat cool seolah kalimat barusan memang sudah direncanakan.
Sekilas terlihat wajah si perempuan oriental merona merah. Entah karena tersipu
atau kepedesan. Suasana sempat menjadi canggung beberapa detik. Mungkin dia
benar-benar “memakan” umpan flirting barusan. Atau ini cuma perasaan GR saya
doang. Entahlah. Tampak mie rebus di hadapan kami sudah dingin ditinggal
ngobrol sekian menit.
“Eh, kamu ngantor deket sini??” tanya saya berusaha
mencairkan suasana canggung.
“Nope.. “ jawab si perempuan singkat sambil
memainkan rambut. Tampak ia masih berusaha terlihat biasa saja.
“So what brings you around??” Selidik saya.
“Nothing, I just walked by..”
“Emang suka iseng jalan-jalan gitu ya??”
“Yaa.., lumayan. Kebetulan hari ini ada perlu deket
sini.
Sampe lebih cepet, ya sekalian muter-muter malah
ketemu
tempat makan mie yang kayanya asik, jadi mampir.”.
“Haahaha, tetep ya. Karena mie.”,
“Iyalah.., mie itu emang guilty pleasure banget
sih..”
“Yes, kind of. Selain lagu Hanson.”
“Ahahahahaha.., jangan bilang kamu suka Hanson
juga??”
“Hahahah.., suka sih.. duluuu.. waktu SMP kayanya.
Tapi kadang
sekarang kalo keputer di playlist masih nyanyi juga
sih.. Hahaha”.
“Tapi harus diakui lagu Hanson itu emang enak kok.
At that moment, nggak mungkin nggak suka lagu
mereka”.
“Good then, kita satu zaman berarti”.
Satu jam hampir berlalu dan kami mulai berbicara
tentang apa saja yang menurut kami menarik. Tentang traveling, era-era kuliah,
tentang kucing saya yang mampu boker di closet, tentang ketidaktertarikannya
kepada agama tertentu dan tentunya tentang pekerjaan. Akhirnya saya tahu dia
bekerja sebagai Account Executive di production house bilangan Kemang. Ternyata
kami berasal dari latar belakang yang kurang lebih sama. Benar-benar kebetulan.
Dan tampaknya kami mempunyai beberapa ketertarikan yang sama pada musik, film,
buku dan seni rupa. Saya suka Quentin Tarantino, dia suka Danny Boyle. Saya
suka “Catcher In The Rye”, dia suka “Ronggeng Dukuh Paruk”. Saya ngefans banget
sama Placebo, dan ternyata dia huge fans-nya The Cure.
Menyenangkan bisa banyak berbagi cerita tentang hal yang kita benar-benar suka tanpa ada paksaan untuk berpura-pura demi rasa nggak enak. Sejenak saya lupa akan nasib sial yang terus melanda beberapa waktu belakangan. Kehadiran si perempuan oriental ini seperti mizone sehabis jogging. Bikin seger. Saya merasa seperti menemukan partner in crime yang telah lama berpisah. Saya suka caranya memandang suatu persoalan. Caranya memandang dunia. Unik sekali. Ada satu kalimat yang terlontar begitu saja dari mulutnya saat suasana tiba-tiba hening untuk kesekian kalinya.
Menyenangkan bisa banyak berbagi cerita tentang hal yang kita benar-benar suka tanpa ada paksaan untuk berpura-pura demi rasa nggak enak. Sejenak saya lupa akan nasib sial yang terus melanda beberapa waktu belakangan. Kehadiran si perempuan oriental ini seperti mizone sehabis jogging. Bikin seger. Saya merasa seperti menemukan partner in crime yang telah lama berpisah. Saya suka caranya memandang suatu persoalan. Caranya memandang dunia. Unik sekali. Ada satu kalimat yang terlontar begitu saja dari mulutnya saat suasana tiba-tiba hening untuk kesekian kalinya.
“Pernah tau nggak kalo kehidupan ini ternyata cuma
sebuah
ruang tunggu yang sangat-sangat besar..”
Saya nggak menjawab, cuma memberi gestur dengan
menggeleng.
“Kita semua ini sejatinya cuma menunggu.
Menunggu waktu bersinar,
menunggu saat tenggelam.
Menunggu sebuah perjumpaan,
sekaligus menunggu waktu berpisah.”,
“Menunggu pesanan mie rebus cabe gerus… “ saya
menyahut asal.
“Hahaha, iya itu juga termasuk.
Hening beberapa saat sampai akhirnya dia meneruskan.
“Tapi yang paling saya nggak suka itu.., menunggu
kesempatan kedua.
Ketika dengan sadar saya telah membuang yang pertama.
The fact is, I hate waiting.”.
“Maksudnya???”
Belum sempat pertayaan saya terjawab, tiba-tiba
muncul seorang lelaki dengan perawakan cukup besar dan langsung menghampiri
tempat kami duduk. Si perempuan oriental agak kaget dan langsung menyapa lelaki
yang baru saja muncul.
“Hai, where have you been?? I’m waiting here.”
“Sorry, tadi macet banget. Biasalah jam pulang
kerja.
Anyway kamu sudah bayar makanannya??”
Si lelaki berperawakan besar langsung berjalan
menuju kasir yang langsung disusul oleh perempuan oriental. Mereka
berbincang-bincang dan tampak sangat akrab. Sementara saya sibuk merogoh celana
jins skinny yang menjadi lebih sempit dua kali lipat pada saat kita butuh
sesuatu dari dalam kantong dan diburu waktu.
Akhirnya saya menemukan sebuah bon minimarket bekas beli celana dalam saat traveling ke Batukaras dan lupa packing. Langsung saya rebut bolpen dari meja sebelah tanpa izin. Bolpen itu milik sepasang kekasih yang dari tadi membahas soal ujian Akuntansi yang dari dulu nggak pernah saya mengerti. Mereka kaget, tapi sama sekali nggak bersuara. Selesai menulis saya langsung melempar alat tulis itu ke meja mereka. Pasangan itu tetap membisu. Mungkin mereka prihatin melihat kegalauan saya yang terlihat jelas.
Akhirnya saya menemukan sebuah bon minimarket bekas beli celana dalam saat traveling ke Batukaras dan lupa packing. Langsung saya rebut bolpen dari meja sebelah tanpa izin. Bolpen itu milik sepasang kekasih yang dari tadi membahas soal ujian Akuntansi yang dari dulu nggak pernah saya mengerti. Mereka kaget, tapi sama sekali nggak bersuara. Selesai menulis saya langsung melempar alat tulis itu ke meja mereka. Pasangan itu tetap membisu. Mungkin mereka prihatin melihat kegalauan saya yang terlihat jelas.
Akhirnya si perempuan oriental kembali dengan raut
wajah terburu-buru dan langsung membereskan laptop apel dimakan codot-nya itu.
Saya cuma memperhatikan dengan santai. Berusaha untuk tidak terlihat sama
gusarnya dengan perempuan yang berdiri di hadapan saya ini.
“Eh, Sorry, saya buru-buru karena sudah dijemput.”
Kata si perempuan oriental dengan sedikit kikuk. Sementara lelaki berperawakan
besar sudah menunggu di dekat pintu keluar sambil melihat ke arah arlojinya.
“It’s nice to have a great conversation with you”
katanya lagi.
Saya hanya tersenyum dan mengangguk tanpa membalas
satu patah kata pun. Si perempuan oriental berjalan ke pintu keluar dan
akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan mata. Sebuah perjumpaan yang
menarik dan sungguh tidak diduga. Benar, hari ini adalah hari keberuntungan
saya. Entah besok. Dengan langkah gontai saya pun menuju kasir, membayar
semangkuk mie rebus cabe gerus yang paling “mewah” yang pernah saya nikmati.
Untuk yang pertama dan mungkin yang terakhir kali.
……………………………..
Dalam perjalanan pulang saya hanya bisa mengutuk
waktu. Mengutuk sebuah kesempatan yang terbuang percuma. Menyesali sebuah
pertemuan dan merenungi perpisahan.
“Hei, kok cincin tunangan kita nggak dipake sih??”
“Kamu nggak boleh dong sembarangan lepas cincin
tunanganya.
Itu kan tanda bahwa kita sudah ada ikatan,
Jadi kamu harusnya nggak boleh lagi…bla..blaa..bla..blaaa..”
“Hey, hey..kamu dengerin nggak sih??”
“Iya aku denger lah. Tadi habis dari kamar mandi,
jadi aku lepas.”
Saya menjawab spontan dan cenderung asal. Toh dia
juga nggak pernah bisa dan nggak akan pernah bisa membedakan. Karena bosan
menghadapi kemacetan dan khotbah yang terus berulang, saya membuka laptop dengan
maksud meneruskan pekerjaan. Terlihat ada yang janggal disana. Sebuah kertas
bon terselip diatara lipatan laptop. Saya melirik ke arah dia. Dia masih
menyetir, menyetir, menyetir dan menyetir. Menyetir hidup saya lebih tepatnya.
Saya ambil kertas tersebut. Di situ tertulis sebuah kalimat dengan tinta agak
terputus. Mungkin alat tulisnya macet. Atau si penulis juga ternyata ragu
dengan apa yang dia sendiri tulis.
“Harusnya kita bertemu dua atau tiga tahun lalu.
Tapi nggak apa-apa. Mungkin di waktu lain. Di
kehidupan lain.
Cara berpikirmu itu yang saya suka. Saya sih YESS!!
Nggak tahu, kalo Mas Anang???”.
FAAAAKKK!!! Hahahhaahahaha. Lelaki mie rebus cabe
gerus.
Saya bahkan belum sempat bertanya siapa namanya.
A scrumptious reading, even tho still wonder what the author was tryin' to convey..
BalasHapusanyway keep up a notch!
Peace, Love, and Gaul
Didi, a Pluvlophile who eats noodle for granted!
*kayak nya lo harus ganti gambar lagi deh, dats a minced cabe rawit not pounded one.
Hi didi.. first o all, its kind of hard to find "mie rebus cabe gerus" in google image. Haha
BalasHapusSecond, maybe you dont have to wonder. Just "eat" this scrumptious story. Its just a fragment of daily life. Mine, yours, or everybody else who read this.
Sori kalo sudut pandang tulisannya gue banget. Abis gue gabisa juga nulis pake point of view orang yg nggak gue pahamin. Semoga menghibur yes.
Thanks anyway for always reading my crap.
Peace, love, and holiday.
-ando-
Ini cerita mi rebus yang kentang menurut ane.. Padahal pas baca ane ngarep endingnya kaya pilem jaman dulu juga.. Tau2 ke puncak, pas mau pulang ujan, terus neduh di tempat yg ada selimutnya buat nutupin bagian atas cewenya pas nangis2 "aku kotor". Hhhhh... Tapi ya sudahlah, kadang hidup berjalan ga sesuai yg kita inginkan toh, tapi yg pasti itu yg terbaik buat kite menurut Tuhan... Widih, ga nyangka gw bisa nulis kata mutiara.. Nular kali ye dari tulisan ente..
BalasHapusKeep writing, dude!!
Jadi pengen mi..
Ini cerita mi rebus yang kentang menurut ane.. Padahal pas baca ane ngarep endingnya kaya pilem jaman dulu juga.. Tau2 ke puncak, pas mau pulang ujan, terus neduh di tempat yg ada selimutnya buat nutupin bagian atas cewenya pas nangis2 "aku kotor". Hhhhh... Tapi ya sudahlah, kadang hidup berjalan ga sesuai yg kita inginkan toh, tapi yg pasti itu yg terbaik buat kite menurut Tuhan... Widih, ga nyangka gw bisa nulis kata mutiara.. Nular kali ye dari tulisan ente..
BalasHapusKeep writing, dude!!
Jadi pengen mi..
Biji mu sontak mengkeret, simbol nyali yang perlahan ciut setelah kamu menoleh kearah meja tamu. Disitu ada martabak. Tapi disebelahnya ada kunci mobil. Persis, kunci mobil bikin sekotak martabak jadi lebih powerfull dan ganas. Sedangkan martabakmu, cuma cemilan sore bapak-bapak nganggur yang main catur di pos ronda.ahaha... Suka dengan bahasa-bahasa aneh lo broth..asal biji loe gak mengkerut juga ya.
BalasHapusKak Chandra yang PNS,
BalasHapusMakasih telah berkenan untuk selalu membaca tulisan saya dan memberi komentar serta kritik yang membangun.
Semoga Kak Chandra sukses selalu.
Bli Deddy yang baik hati,
BalasHapusMemang kadang kehidupan tak slalu berjalan sesuai dan beriringan dengan pikiran. Tapi yah sebagai manusia kita hanya bisa menjalankan saja. Kita mah apa atuh, cuma jembut ditengah laut.
Jembut ditengah laut... Hmmm... Ada orang diving kaga cukuran kali ye...
HapusKosong neh..lagi gak ada tulisan lagi broth..
BalasHapus