Sebulan terakhir ini kita dihebohkan oleh beberapa
peristiwa yang mengguncang dunia (maya). Mulai dari isyu basi tentang
kebangkitan kuminis hingga si Papa yang tertidur berdiri saat mengheningkan cipta.
Tapi semua peristiwa di atas tidak mampu menggulingkan fenomena sebuah sekuel
film yang sangat ditunggu kelanjutannya oleh hampir separuh dari penduduk
nusantara. Ya, film tersebut ialah Ada Apa Dengan Cinta, atau lebih popular
dengan akronim ACDC, eh AADC maksudnya. Betapa tidak, film yang rilis pada
tahun 2002 ini merenggut (semacam keperawanan) hati jutaan remaja yang kala itu
minim hiburan berkelas atau minimal film yang layak tonton di layar lebar. Era
90an akhir menuju awal millennium memang masa-masa gelap dari perfilman
Nasional. Masa itu, film semi-semi yang dibintangi Kiki Fatmala, Malvin Shayna,
dan Renaldi sedang merajalela. Hanya sekali dua kali film komedi slapstick
Warkop yang ikut meramaikan. Itu juga lagi-lagi dibumbui adegan kontes ratu
pantai yang diperankan dengan gemilang oleh Inneke Koesherawati dan
kawan-kawan. Satu-satunya sinyal positif dunia seni peran Indonesia hanya
ditandai oleh kemunculan Panji si Manusia super dengan kostum ketat dan
berbelah tengah ala-ala Nick Carter.
Tidak heran mestinya jika industri layar lebar
menjadi lesu dan sepi penonton. Film yang diproduksi dengan bajet dan akal
sehat minim sudah pasti nihil hasilnya. Para penonton karuan memambatkan hati
kepada film Hollywood Box Office sebagai ajang pelepas rindu terhadap film
Nasional berkwalitas. Sampai suatu hari film AADC pun menghiasi layar bioskop.
Bagai oase di padang gurun, film yang disutradari oleh Rudi Soedjarwo itu
diserbu jutaan remaja yang haus (wahana pacaran) akan film bermutu. Sejak saat
itu bisa dikatakan AADC lah tonggak bersejarah bangkitnya industri film
Indonesia dari tidur yang panjang.
Mengingat kesuksesan dan nama besar AADC sebagai
“brand” yang sudah melegenda, tentu gak mudah bagi Riri Riza sebagai sutradara
untuk merumuskan formula dari pendahulunya agar film ini mampu meraih hasil
akhir yang kurang lebih sama. Bukan hal mudah memang memenuhi ekspektasi jutaan
die hard fans Dian Sastro yang rela buka tenda di depan gedung bioskop demi
nonton film ini lebih dulu. Dan ketika akhrinya sekuelnya dirilis, tentu banyak
komentar positif, nyinyir hingga ketidakpuasan atas kembalinya Cinta kepada
pangkuan Rangga. Termasuk saya. Saya mungkin adalah orang pertama yang protes
dengan fakta tersebut. Bagaimana tidak, coba bayangkan bagaimana rapuhnya
perasaan Trian (walaupun tetap tampak playboy) yang diperankan oleh Ario Bayu.
Pasti anyep. Macam tokay disiram di wc. Nggak enak fren. Coba sekarang kalian
semua bayangin. Cinta yang tampak sangat paripurna kecantikannya di usia early
30’s , begitu saja lolos hanya karena datang si mantan legendaris yang..,
yang.., yang mungkin saja menggagahi Cinta waktu mereka piknik bareng di
Amerika. Hell no my friend, hell no. Sebagai laki-laki tulen, kejantanan saya
merasa ternodai oleh ending film tersebut. Mungkin ada yang sepakat dengan
saya, ada juga yang tidak. Bebas saja, selama kita nggak saling menyakiti
rasanya boleh kan berseberangan pendapat tanpa harus ditarik-tarik ke masalah
agama. Gak ada kan ya kelompok-kelompok tertentu yang akan membantah saya dengan
dalil yang menguatkan pilihan Cinta untuk embung move on dari Rangga???
Oke, biar keliatan logis, berikut adalah
alasan-alasan kenapa Cinta nggak harus balikan sama Rangga. Alasan-alasan
dibawah sudah melalui proses riset dan ditinjau dari aspek psikologi, sosiologi,
antropologi, dan juga ekonomi. Jadi silahkan disimak dan direnungkan baik-baik.
Mantan
adalah alumni hati.
Itu adalah sepenggal kalimat dari Ridwan Kamil yang
mengangkat tema “mantan” dalam sebuah stand up komedi ala-ala di televisi
swasta. Selayaknya alumni, tentulah kita kadang merasa kangen dengan almamater
sekolahan dulu. Pernah dong kamu tetiba ngerasa kangen mau manjat pager sekolah
waktu terlambat dateng hari Senin. You already missed the scene, the scent, the
view, the action, even the “got caught” moment. Tapi kalo disuruh manjat pager
sekarang, apa kamu mau?? Mau sekolah lagi?? Bikin PR lagi?? Ketemu Pak Maslam
lagi?? Mau?? Hah?? Hah?? Haaah!!???
Kangen
beda tipis sama horny.
Mirip dengan alasan pertama. Tapi kalo yang atas
cuma sebatas emosi dan hawa-hawa doang, yang ini selangkah lebih terdepan.
Biasanya alasan ini merujuk pada suatu eksyen. Kita semua tahu bahwa Cinta dan
Rangga tumbuh di lingkungan keluarga yang moderat dimana Cinta pulang malem
kagak langsung dimasukin pesantren oleh bapaknya dikemudian hari. Pun dengan
Rangga. Dibesarkan oleh bapak yang eksentrik dan lantas nyambung kuliah di
“state” pasti melengkapi ke-liberal-an pemikiran jejaka gemar berpuisi itu.
Bisa ditebak, saat Cinta vakansi bersama keluarga ke USA (yang mana hanya
digambarkan oleh sebuah foto bareng Rangga degan latar pemandangan Amerika),
sudah pasti Rangga dan Cinta melepas rindu. Dan bisa aja dijadikan ajang
melepas “tai macan” oleh Rangga yang nyaris kanker prostat karena minim
ejakulasi sejak keberangkatannya ke negeri paman Sam.
“Ah,nggak mungkin. Rangga kan lelaki baik-baik.
Nggak mungkin dia menodai Cinta!!” Itu kan katamu. Tapi Rangga (bukan Nicholas
Saputra) tetap saja lelaki biasa yang bisa ngaceng juga kalo pas lagi piknik
“beceng”nya kesenggol oleh lentiknya jemari Cinta. Jadi kita udah sepakat nih
ya kalo Rangga dan Cinta indehoy sejenak saat mereka jumpa di Amerika. Oke,
setelah mereka akhrinya balik ke Negara masing-masing dan Rangga ketemu dengan
cabe-cabean New Jersey, sontak Rangga belagak pilon dengan keberadaan Cinta di
Jakarta yang mungkin sedang merenung khas remaja wanita yang khilaf ml karena
kebawa suasana. Ditengah perenungan itulah Cinta mendapat kabar buruk bahwa
Rangga memutus tali silaturahmi. “JELEGER” bagai petir di siang bolong bulan Desember
di atas gunung Bromo, Cinta menggelapar tak berdaya. Harapannya pupus. Hatinya
hancur.Begitu pula dengan hidup dan sekolahnya.
Sampe satu saat dimana akhirnya Rangga mesam-mesem
ngajak balikan setelah nggak ketemu 10 tahun, harusnya Cinta tahu kalo Rangga
cuma horny. Gimana enggak?? Mereka berdua sebenarnya tahu bahwa urusan hati
harusnya sudah selesai dari jauh-jauh hari. Cinta move on bersama Trian,
sedangkan Rangga betah melajang dan ngurus Coffee Shop. Memang bukan situasi
ideal, tapi itulah hidup. Kenyataan indah kadang hanya too good to be true
momen saja. Jadi biarlah pagi itu Cinta nggak usah balik ke Jakarta. Extend
satu hari lagi di Jogja. Lebih tepatnya di penginapan Rangga. Do whatever they
have to do. Puaskan rasa penasaran Rangga yang mungkin belum sempat mecoba gaya
tertentu waktu di Amerika lalu. Niscaya setelah mereka berdua selesai
menuntaskan libido, akal sehat yang sempat terombang-ambing emosi mulai
memainkan peranan. Adegan selanjutnya bisa ditebak. Rangga akan mengambil
sebatang rokok menthol untuk mencairkan suasana canggung.
“Cinta, kayanya apa yang kita lakukan salah ya..,
saya tau kamu sudah tunangan. Tapi, kecantikanmu..
Membiusku… Huvt”.
Kira-kira itulah yang keluar dari mulut Rangga.
Cinta pun yang sudah dewasa secara mental tentu nggak akan panik karena telah
bersenggama dengan mantan masa SMA-nya. Paling top Cinta akan memeluk Rangga
dari belakang dan berbisik.
“Rangga, yang kamu lakukan pada saya barusan,..
Rawwrr..”
Kemudian Rangga akan mengantar Cinta ke bandara
sambil haha-hihi karena gairah sudah tuntas. Tak ada dendam maupun sakit hati.
Mereka memutuskan untuk bersahabat dan membuka bisnis tempat les kumon di New
York.
Hormati
orang yang mengangkatmu dari parit derita
Siapapun yang pernah patah hati akut mesti tahu yang
namanya parit derita. Parit derita ialah sebuah tempat imajinatif yang
diciptakan sendiri oleh penghuninya. Biasanya karena sakit hati dan pertanyaan
besar yang tak terjawab. Dalam konteks AADC, Cinta lah penghuni parit derita.
Bertahun-tahun Cinta menahan sakit, melawan kenyataan bahwa ia dicampakkan
Rangga tanpa alasan jelas. Rangga pun menghilang seperti tokay di flush dua
kali. Sampai suatu hari ketika Cinta mulai menerima kenyataan bahwa Rangga
memang lelaki bajinguk yang cuma bisa kabur setelah “ena-ena”, bertemulah Cinta
dengan Trian yang mencoba untuk mencuri hati. Terlepas dari fisik Trian yang
mumpuni, menyembuhkan hati perempuan yang terluka itu memang faktanya lebih
sulit daripada merangkai rumus fisika nuklir. Cinta yang begitu sempurna secara
fisik saja mampu memendam kecewa selama beberapa tahun sebelum akhirnya bertemu
Trian. Secara teori nggak sulit bagi Cinta mencari pengganti Rangga sesaat
melangkahkan kaki di kampus. Namun, cinta kan persoalan hati, bukan teori di
atas kertas.
Semestinya Cinta lebih menghargai usaha Trian yang
mungkin saja gelar tenda 7 hari 7 malam demi dapet perhatiannya. Namanya orang
patah hati pasti sempat ada rasa enggan untuk menjalin hubungan baru. Dan Trian
lah sosok macho dengan mobil mewah yang mampu mengubur (walaupun puisi Rangga
masih tersimpan di lemari) sosok puitis lelaki kriwil yang dicipok Cinta di
bandara Soeta. Dan atas nama respect, hubungan Rangga dan Cinta di Jogja harus
dihentikan di momen persenggamaan 20-30 menit saja sebelum akhirnya Cinta
kembali menjalani hari dengan biasa bersama Trian di Jakarta.
Balancing
is everything.
Oke, kita masuk ke alasan ke empat. Hidup itu
seperti berjalan di atas tali tipis dengan jurang penuh buaya dan bencong di
bawahnya. Artinya, keseimbangan amat sangat diperlukan. Tiada yang lebih
seimbang dengan hidup saling mengisi dengan pasangan. Itu juga yang harusnya
dipertimbangkan oleh Cinta. Hmm, mungkin terlihat sempurna hubungan dua orang
yang gemar mengomentari puisi dan karya seni. Tapi coba deh dipikirkan lagi??
Apa enggak bosen ngomentarin puisi melulu??? Sebagai gambaran, silahkan
mencermati hubungan antara dua insan manusia yang punya kegemaran menyanyi akut
seperti Dewi Persik dan Saiful Djamil. Hampir separuh hubungan mereka yang
sialnya diekspos media diisi dengan bernyanyi. Balas-balasan lagi. Baik saat
mereka sedang romantis maupun menjelang hubungan pernikahannya yang karam
karena ternyata bang Ipul doyan lakik, eh…
Kebayang dong kalo Cinta dan Rangga ribut kaya
gimana?? Rangga yang oldschool alih-alih vintage tetep aja maksa kirim surat
yang berisi unek-unek daripada cahat pake media Line, misalnya. Terus Cinta
yang masih saja ngikutin kaidah berbahasa yang baik dan indah saat mergokin
Rangga bersetubuh dengan ART mereka yang seksi banget di kamar belakang.
Mungkin Cinta marah, tapi jadi aneh kalau tetep make EYD. Misalnya begini.
“Hei kamu, laki-laki terkutuk. Dusta kamu.!!
Saya kira
benar adanya fakta bahwa kamu bermain gaple dengan tetangga sebelah. Ternyata
kamu bercinta dengan Asisten Rumah Tangga kita yang memang harus saya akui
bertubuh molek!!!”.
Aneh kan?? Jadi gimana?? Sepakat dong sama saya?
Jadi jelas pilihan Cinta bersama Trian yang blas nggak ngerti seni tapi mungkin
saja trengginas di ranjang (who knows??).
Cinta
butuh puisi sampe umur 34, sisanya butuh perawatan.
Sad but true. Mungkin banyak yang kecewa dengan
alasan yang terakhir ini. Jujur saya juga kecewa kok. Tapi memang memelihara
kecantikan cinta nggak cukup dengan dibacain puisi sampe ketiduran aja. Well,
Rangga juga bukan tipe cowok mokondo (modal konci doang) sih. Dia juga usaha
buka Coffee Shop di New York. Tapi ya kalo ngukur-ngukur biaya perawatan Cinta
yang bombastis, nggak heran kalo sosok Rangga pun memilih mundur dan jiper
ketika babenya Cinta nyiyir supaya Rangga cepet kerja. Inget, di Indonesia
nikah itu bukan cuma dua insan yang saling mencintai saja. Tapi lebih ke dua
keluarga yang butuh banget pengakuan lingkungan sosial bahwa anak kebanggannya
dapet jodoh laki-laki atau perempuan yang baik, mapan, sayang mertua, sopan,
alim, agamis dan hal-hal munafik lainnya.
Kecuali Rangga mirip sosok Radit dalam film Radit
dan Jani, mendingan nggak usahlah nekad kawinin Cinta. Begitupun dengan Cinta.
Kalo kuping masih tipis dengerin nyiyiran keluarga besar yang sering
ngomentarin suaminya pas Lebaran, mendingan nggak usah coba-coba mikir untuk
berani hidup sama Rangga.
“Cinta, mana suami kamu?? Eh Tante lupa deh, tentu
aja si Rangga lagi ngurusin warkop nya kan ya??? Ahahahahaha (ketawa dengan
tone yang TAI banget khas emak-emak kaya nan sombong). “
Kira-kira gitulah komentar keluarga besar Cinta yang
saya asumsikan pasti kaya raya. Coffee Shop di distrik sibuk macem New York
enteng aje disebut warkop sama si Tante seolah-olah Rangga jualan kopi sama
bubur ayam di pinggir jalan Lenteng Agung. Kalo sudah begitu baru deh Cinta
sadar bahwa keluarga memang memainkan peran yang besar dalam percaturan
asmaranya. Tapi apa daya, nasi sudah jadi dubur, eh bubur. Paling-paling Cinta
stres, lalu ribut sama Rangga, dan diakhiri dengan bales-balesan puisi lewat
pos. Kemudian Rangga pergi lagi untuk kedua kalinya tanpa pesan bersama
cabe-cabean bule waitress coffee shop nya mayan cakep juga kalo diliat-liat. Di
Amerika, nggak bakal ada Tante-tate babi yang suka nyela laki keponakannya.
Nah, kira-kira begitulah alasan yang bisa saya utarakan
berkaitan dengan keberatan saya terhadap ending AADC yang menurut hemat saya
kurang Indonesia-wi gitu lho. Semoga pihak Miles berkenan untuk membuat AADC
The Unexpected Truth (with alternate ending) dimana kisahnya menjadi Cinta yang
tetap balik ke Trian dan menjadikan Rangga psikopat puitis yang lebih kejam
dari Joker yang diperankan oleh mendiang Heath Ledger.
Akhir kata, sebagai penikmat film dan perempuan
cantik, saya merasa terhibur oleh penampilan Dian Sastro yang dengan gemilang
masih menjaga mood saya sama seperti 14 tahun lalu saat membolos sekolah demi
AADC pertama. You did a great fucking job.
Jayalah terus Dian Sastro. Jayalah terus perfilman
Indonesia.
hahahaha.......
BalasHapusHarrah's Philadelphia casino unveils new COVID-19 safety
BalasHapusA $14 million 경주 출장샵 expansion at Harrah's Philadelphia Casino in 대전광역 출장안마 Chester will be complete by 제주 출장샵 2 순천 출장샵 p.m. on Tuesday, June 30. 원주 출장샵 The gaming floor at the hotel