Setahun terakhir ini saya menekuni pekerjaan yang boleh dibilang mengasyikan lagi memberikan saya banyak pelajaran berharga. Tiada yang lebih menyenangkan daripada bermain, mengupdate dan menulis status di media sosial untuk kemudian mendapatkan uang dari situ. Yup, saya berprofesi sebagai content writer merangkap social media staff. Mungkin masih terdengar awam buat calon mertua ketika nanti saya ditanya bekerja di bidang apa, tapi percayalah banyak profesi aneh yang nggak pernah terbayangkan sebelumnya sedang menanti diujung sana untuk kamu yang bosan menjadi teller Bank atau staff accounting perusahaan.
Bekerja
sebagai social media staff membuat saya kudu menyimak trend-trend sosial
media terbaru untuk dipelajari dan jika memungkinkan diaplikasikan kedalam
kampanye digital dari perusahaan tempat dimana saya bekerja. Maka dari itu
setiap pagi saya rajin memantau Facebook dan juga Youtube. Karena setelah
perlahan Twitter ditinggal oleh peminatnya, praktis dua platform itu sekarang
yang paling ramai dijadikan lahan promosi, selain Instagram yang ramai-ramai
“diperkosa” oleh akun-akun peninggi badan dan pembesar penis instan.
Memantau
Facebook selama 8 jam sehari, lima hari seminggu membuat saya betul-betul hafal
akan jenis postingan yang sedang naik daun di lini masa media sosial racikan
seorang kafir Yahudi bernama Mark Zuckerberg ini. Sekitar dua bulan lalu
berbagai macam variasi cerita kurang lucu dari tokoh rekaan bernama Mukidi
benar-benar mendapat panggungnya. Mulai dari Mukidi yang melihat onta lah,
bertemu orang Cina lah, Mukidi coli lah, hingga surat edaran resmi yang
ditandatangani oleh Mukidi. Namun cerita Mukidi sedikit meredup sesaat setelah
tokoh bernama Basuki (yang ini beneran bukan rekaan) gantian mencuri pentas.
Konon (boleh dibalik) tokoh keturunan Tionghoa ini merebut hampir seluruh
frekwensi perhatian massa pengguna Facebook.
Alkisah
dimulai dari dipostingnya sebuah video singkat Basuki yang sedang memberi entah
ceramah, himbauan, kampanye, atau kelas pengganti Ilmu Pengantar Politik di
Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Dalam
video itu terlihat Basuki dengan rada dongkol mengucapkan kata-kata maut yang
membawa masalah demikian besar bagi jabatannya dan bagi hubungan silaturahmi
masyarakat Jakarta bahkan Indonesia. Terlepas dari perkara apakah kata-kata
tersebut termasuk penistaan agama ataupun bukan, yang jelas penonton acara
tersebut nampak anteng dan terkendali. Dan hampir tidak ada satu orangpun yang
menyadari isi video tersebut secara lengkap.
Tetapi
semua berubah saat negara api mulai menyerang. Seorang tokoh bernama Buni
(nggak pakai Bugs) ikut mengunggah video tersebut beserta caption yang menurut
pihak berwajib termasuk dari tindakan provokasi. Karena percayalah tidak ada
satupun hater dari Basuki berminat menonton video si Basuki open mic di
Kepulauan Seribu yang diposting oleh akun Pemda DKI Jakarta. Namun dengan
caption yang menggugah, video dengan durasi yang nggak lebih panjang dari satu
adegan tembak-tembakan di film Rambo 4 itu menjadi sangat click-able.
Alhasil
bola salju yang menggelinding semakin besar atas peran serta netizen yang beriman,
berpendidikan tinggi, berpenghasilan diatas UMR, punya akses internet, tetapi
tidak diimbangi kecerdasan emosional yang mumpuni. Singkatnya kita sebut saja
mereka kelas menengah ngehek. Suatu kelas yang tercipta dari tindakan represi
sebuah rezim pemerintahan terhadap kebebasan berpendapat dan berpolitik
masyarakat. Kelas menengah ngehek ini bak jamur yang tumbuh dimusim hujan.
Mereka berkembang biak pesat seiring murah serta mudahnya akses internet
menjangkau. Kehidupan yang nyaris mapan (berkat murahnya cicilan rumah dan
mobil yang ditawarkan perusahaan leasing si raja riba nan haram pun dilarang
agama), membuat sebagian besar kelas menengah ngehek ini merasa sebagai
“pemenang” di ibukota karena punya banyak waktu untuk sekedar
scrolling-scrolling kursor akun Facebook disela-sela jam kerja, sambil menunggu
kereta atau Transjakarta, di dalam Taksi online, ataupun sambil menunggu si
kecil pulang les balet.
Bola
salju yang besar itu akhirnya bermuara kepada sebuah demonstrasi (sebagian
menyebutnya Jihad Konstitusional, meskipun di Islam sendiri tidak ada satupun
ajaran tentang demo, apalagi mengakui serta menjalanakan sebuah sistem Thagut
demokrasi yang jauh dari khilafah) besar-besaran pada tanggal 4 November 2016
yang menyuarakan tuntutan sebagian kaum Muslimin yang ingin Basuki diproses
secara hukum terkait dengan ucapannya di Pulau Seribu tempo hari. Diluar dari
aksi rusuh beberapa oknum yang tertangkap kamera sedang mengacungkan bambu
kepada aparat, harus diakui demonstrasi 411 ini berjalan baik dan terorganisir.
Salut dengan beberapa ormas yang mampu meredam suasana panas yang bisa saja
meletus menjadi kerusuhan masal.
Beberapa
hari kemudian Basuki lantas dinaikan statusnya menjadi tersangka oleh pihak
kepolisian. Tentunya ini membuat remuk hati para lelaki pemburu gadis diluar
sana yang telah jatuh bangun Bekasi-Bintaro namun statusnya tidak jua naik
menjadi pacar. Haruskah mereka juga melakukan demonstrasi di depan istana untuk
sekedar diakui keberadaannya dan di tag namanya dalam sebuah postingan berisi
lirik lagu Raisa “Could it be”.
Singkat
cerita Basuki pun mendapat hukuman sosial yang sangat berat. Statusnya sebagai
Gubernur non aktif dan Cagub dari partai dengan logo mirip Chicago Bulls ini
menjadi serba salah. Hasrat menggebu-gebu dari pendukungnya harus bertentangan
dengan para korban gusuran dan hater yang semakin sakit hati setelah peristiwa
video penistaan tersebut. Tak cukup hanya disitu, musuh Basuki semakin mendesak
dan menebar opini di sosial media tentang harusnya disegerakan penangkapan bagi
si tersangka penista agama. Isyu tentang aksi demo susulan langsung menyebar
luas untuk mempercepat langkah pihak berwajib memenjarakan Basuki.
Tapi
tampaknya demonstrasi bukanlah langkah yang disetujui semua pihak yang merasa
tersinggung atas penistaan agama yang dilakukan Basuki. Beberapa ormas
keagamaan yang cukup besar di Indonesia telah menyatakan sikap untuk tidak lagi
turun ke jalan menyuarakan pendapat dan menerima serta menghormati proses hukum
yang sedang berlangsung. Mungkin itu pula yang menyebabkan lawan Basuki mulai
mencari narasi lain untuk tetap menghangatkan lini masa sosial media. Ibarat
satu pleton pasukan yang habis memenangkan sebuah pertempuran besar, semangat
dan moral prajurit harus dijaga (bahkan dipompa terus) agar tidak kendor untuk
terjun ke medan perang yang lebih menentukan. Macam-macam isyu lantas ditebar
disegala penjuru dunia maya. Salah satu yang menurut saya paling spektakuler
sekaligus musykil adalah “Gerakan tarik
uang massal untuk menciptakan Rush Money”. Trik yang satu ini memang elegan betul. Jauh
dari kesan proletar yang biasa melakukan long march penuh keringat bercampur
sisa-sisa mijon disudut bibir para penuntut keadilan. Gerakan ini diklaim milik
kelas menengah yang digenerelisasi sebagai kelas dengan kouta terbanyak di
kota-kota besar Indonesia.
Untuk
yang masih awam, singkatnya rush money adalah penarikan dana besar-besaran dari
bank secara bersamaan dan mendadak. Tujuannya tentu saja menciptakan
ketidakstabilan ekonomi yang sangat mungkin menyulut kerusuhan dan sukur-sukur
menjatuhkan Presiden yang pake jaket bomber. Mungkin penggagas gerakan rush
money ini adalah seorang tokoh yang mencoba nostalgia dengan peristiwa
kerusuhan Mei 98 beberapa waktu silam. Masih terlintas dalam benak ketika bapak
saya menarik semua uang keluarga kecil kami yang tidak seberapa dari sebuah
bank swasta yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa lalu memindahkannya ke bank
pemerintah yang katanya relatif lebih aman. Peristiwa tersebut terjadi menyusul
tragedi kemanusian terbesar kedua setelah pembantaian komunis tahun 65-69.
Ribuan warga keturunan Tionghoa harus menjadi tumbal mengiringi hancurnya sebuah
orde kepemimpinan seorang Presiden legendaris Republik ini.
Sekilas
ide rush money memang terdengar renyah. Dan benar adanya, isyu tersebut
langsung dikunyah tanpa ampun oleh –lagi lagi- kelas menengah ngehek sebagai
kaum yang mendominasi frekwensi lini masa dunia maya. Ancaman penarikan
sejumlah uang secara beramai-ramai ini bahkan telah dibuat skema
hitung-hitungannya. Jika kira-kira sebanyak 5 juta orang menarik 2 juta rupiah
dari bank, maka bank akan kelimpungan mencari dana talangan untuk membayarkan
uang nasabahnya. Saat itulah rush money terjadi, dan suasana menjadi kisruh.
Kemudian berturut-turut kepercayaan terhadap perbankan menurun drastis, suku
bunga anjlok, rupiah melemah, inflasi gila-gilaan, harga barang melonjak, AA
Gatot keluar penjara, Dimas Kanjeng buka kursus gandain duit, Young Lex
mendadak miskin, dan Coldplay beneran konser di alun-alun Nganjuk dengan artis
pembuka Angel Lelga.
Gimana??
Eneg kan bayangin Coldplay harus nunggu di backstage sambil ngunyah panadol 4
biji langsung karena pusing ngeliat konser maha dahsyatnya dibuka oleh artis
tanggung tapi punya tas mahal bingits yang mantan istrinya Chris Martin aja
nggak punya. Makanya penjarain deh si Basuki kalo nggak mau ilustrasi peristiwa
diatas bener-bener kejadian. Kira-kira begitulah ancaman dari segelintir orang
yang merasa jika rush money adalah jalan keluar terbaik dari segala macam
masalah.
Jujur
saja, saya bukan orang yang gemar mengamati masalah ekonomi morat-marit bangsa
ini. Saya yakin para pendahulu kita, para leluhur, jungkir balik pating pecotot
membangun fondasi ekonomi negeri yang baru saja merdeka seumur jagung. Salah
seorang founding father kita, Bung Hatta adalah seorang yang sangat ekonomis.
Ya, saya ulang sekali lagi, dia adalah seorang yang sangat mencintai bidang
ekonomi sekaligus penganut aliran ekonomis. Bagaimana tidak, untuk membeli
sepasang sepatu Bally saja ia harus rela menabung dan pada akhirnya hanya
menjadi angan karena keinginan tersebut tidak pernah terwujud hingga akhir
hayatnya. Jangan coba-coba bandingkan pengorbanan Si Bung dengan pejabat
ataupun pelaksana roda pemerintahan yang kita kenal sekarang. Apalagi sampai
harus merobohkan sistem ekonomi yang sudah beliau rintis dengan darah juga air
mata dan dibangun sedemikian rupa hingga detik ini hanya karena isyu rush
money. Jadi buat saya isyu yang satu ini benar-benar menggelitik untuk cepat
ditanggapi.
Saya
pun kemudian mencoba mensimulasikan apa yang terjadi jika ajakan rush money
tanggal 25 November benar-benar dilaksanakan. Tapi di sisi lain saya juga berkeyakinan
bahwa satu-satunya yang bisa menggoncang perekonomian adalah pemilik
perekonomian sendiri. Dalam arti si bankir itu sendiri, dan segelintir
orang-orang tak bernama yang wajahnya tidak pernah muncul dalam daftar orang
terkaya di majalah Forbes. Silahkan kamu googling jika tidak percaya, negara
yang selama ini kita anggap sebagai Superpower saja seperti Amerika, Jepang,
dan Perancis misalnya memiliki hutang yang sangat banyak pada bank dunia.
Negara-negara tersebut bukanlah negara bodoh yang mayoritas penduduknya
meributkan masalah moral serta menyebar broadcast message tentang obat yang
membuat wanita mandul sehingga bebas digagahi. Mereka adalah sekumpulan
orang-orang produktif yang ilmuwannya telah menemukan obat kanker, teori fisika
kuantum dan mengetahui keberadaan Eddy Tansil yang buron sejak zaman orba.
Lalu
jika rush money memang bisa dikaryakan untuk menumbangkan rezim yang korup
ataupun tidak memihak rakyat, tentunya revolusi Perancis sudah terjadi tiga
kali sejak zaman Louis XIV yang beken dengan semboyan “Negara adalah saya”.
Atau sekalian saja kemarin orang Amerika berbondong-bondong ngambil duit via
atm lima ribu dollar seorang supaya keadaan jadi kacau dan Donald Trump batal
jadi Presiden. Tapi faktanya, memang lebih gampang menggalang otot di jalan
sambil bawa spanduk teriak-teriak pake toa, dan sukur-sukur dapet nasi kotak
ayam goreng tepung. Itu pula yang dilakukan oleh penduduk di beberapa negara
bagian Amerika yang memihak pada Hillary Clinton. Tapi apa hasilnya?? Ya jadi
bahan berita doang. Masuk tipi, siaran berita malem yang ditayangin habis
serial The Walking Dead season 7.
Yang
terjadi tetap saja segilintir penguasa dan oknum-oknum bankir dalang dibalik
penyedia dana segar bagi negara sama sekali tidak tersentuh. “People Power”
cuma semboyan basi yang terakhir kali diusung Musso saat memimpin pemberontakan
PKI di Madiun tahun 1948. Di zaman teknologi informasi ini -dimana kelas menengah ngehek bisa saja
kritis ngomongin teori ekonomi kerakyatan menggebu dan mengkritik pemerintah
yang tidak pro rakyat miskin sambil ngopi cantik di Starbucks-, yang punya
power itu bukan people, tapi money, Bos. Sekali lagi, money. Apanya yang mau
di-rush kalo money kita aja setiap masuk tanggal 25 sebanyak 4 juta, langsung
ditarik lagi 3 juta 900 ribu. Itu juga terpaksa disisain 100 ribu karena
kebijakan bank harus menyisakan uang untuk administrasi.
Dan
pada akhirnya memang itulah yang terjadi. Rush money cuma sekedar omong kosong
alias lip service para elite-elite yang memang berniat menjaga semangat tetap
berkobar di dada para prajurit pengawal kasus hukum Basuki. Ibarat satu kompi
pasukan Amerika yang sukses merebut sebuah pangkalan udara kecil di pinggiran
Guadalcanal pada perang Pasifik. Kemudian jendral-jendral di atas kapal perang
sambil minum cocktail memerintahkan bagian humas untuk cetak selebaran perihal
“Tempur abis-abisan” karena sebentar lagi perang bakalan kelar. Padahal
faktanya perang masih jauh dari rampung dan si tentara yang kadung semangat
antara napsu campur termotivasi menjadi garang dan trengginas menggilas semua
musuh yang tampak. Kalaupun pun pada akhirnya para prajurit gagal dan tetap
kalah, ya nggak masalah. At least para jendral jadi tahu batas loyalitas serta kegilaan dari pasukan
martirnya. Bahasa ilmiahnya studi kasus.
Hari
ini tanggal 25 November saya menulis tulisan singkat ini sambil menunggu
akankah rush money benar-benar terjadi dan menggoncangkan perekonomian
sebagaimana digambarkan oleh mentri Sri Mulyani di berita-berita. Sambil
menunggu dan menunggu (karena saya sendiri belum gajian jadi tidak bisa ikut
partisipasi menarik uang) saya jadi teringat kalau hari ini adalah hari
penentuan dari langkah Timnas Garuda di pegelaran piala AFF 2016 yang sangat
bergengsi di Asia Tenggara itu.
Setelah
hiatus dari segala macam pertandingan internasional karena terkena sanksi FIFA,
penampilan Timnas senior Indonesia ini pastinya ditunggu oleh jutaan pasang
mata para supporter setianya. Namun nasib kurang baik tampaknya merundung Evan
Dimas Cs diawal-awal perhelatan. Setelah dihajar Thailand 4-2 pada partai
pembuka, garuda kebanggaan kita harus menunda hasrat sejenak setelah kemenangan
yang sudah begitu tersaji di depan mata harus pupus karena seorang “suami muda”
yang nggak tahan untuk membobol gawang si Meiga. Apa boleh bikin, Indonesia
harus rela ngejogrog di urutan paling bawah klasemen dengan hanya mengoleksi 1
poin saja. Langkah Timnas semakin sulit
lagi karena partai terakhir mempertemukan Indonesia dengan Singapura yang juga
punya misi wajib menang demi tiket semifinal.
Melawan
Singapura bukanlah hal yang mudah, walaupun bukan sesuatu yang mustahil juga.
Persis seperti Filipina, Singapura juga diperkuat oleh legiun asing yang telah
dinaturalisasi. Satu dekade terakhir naturalisasi memang dirasa cukup mengangkat
pamor tim-tim sepakbola Asia Tenggara. Indonesia pun tidak mau kalah dan lantas
menasionalisasi Christian Gonzales dan Irfan Bachdim yang langsung mencuri
perhatian penonton AFF tahun 2010 silam. Untuk Piala AFF kali ini amunisi
naturalisasi tim garuda diisi oleh Stefano Lilipaly. Pemain yang pernah bermain
untuk timnas Belanda U-15 ini akhirnya memilih untuk membela Indonesia sebagai
tim nasional level senior.
Penantian
Fano (panggilan akrab Lilpaly) yang batal bermain untuk Timnas U-23 di Sea
Games 2011 karena masalah cedera akhirnya membuahkan hasil. Sebuah sepakannya
menembus pertahanan penjaga gawang Singapura yang tampil apik sepanjang
permainan. Sepakan kencang tersebut bukan hanya membuat Singapura harus pulang
kandang lebih cepat, tapi juga menyepak segala isyu miring tentang rush money,
dan tentang persoalan keharmonisan kita dalam berbangsa. Menit ke 85
pertandingan melawan Singapura tadi Lilipaly membuktikan bahwa melalui
sepakbola kita semua bisa menjadi saudara (lagi). Senasib sepenanggungan,
berdiri di bawah langit, memijak tanah, dan hormat kepada bendera yang sama.
Indonesia. Saya mungkin adalah orang yang tidak mendukung aksi 411 kemarin, dan
kamu yang membaca tulisan ini, bisa saja adalah pendukung Habib Rizik dan
kawan-kawan ormasnya. Tapi saya yakin 25 November ini kita bersama berteriak,
bersorak-sorai menyambut gol Stefano Lilipaly –seorang warga negara keturunan- yang
mengantarkan kaki bangsa ini untuk melangkah lebih jauh di pentas sepakbola
Asia Tenggara.
Alih-alih
ada rush money, tanggal 25 November malah dikenang sebagai salah satu
pertandingan Timnas Garuda yang mengundang adrenaline rush bagi penikmat
sepakbola tanah air. Tak ada orang berbondong-bondong menarik uang dari bank.
Tidak ada kerusuhan yang tercipta akibat stabilitas ekonomi yang terganggu.
Tidak satu pejabat pun yang dikudeta malam ini. Dan Coldplay tetap tampil di Singapura, negara kecil kaya
raya yang malam ini kita buat bertekuk lutut tidak berdaya.
Akhir
kata, terimakasih Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly, kalian telah
mengingatkan kami untuk tidak terlalu banyak scrolling Facebook sehingga lupa bersenang-senang di dunia nyata.
Salam
Olahraga!!